PERANAN SEKAHA SANTI DALAM UPAYA
PELESTARIAN BAHASA DAN SASTRA BALI
DI DESA SANGKAN BUANA KLUNGKUNG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pulau Bali yang begitu kental dengan
adat dan budayanya adalah karya besar para leluhur
terdahulu yang sampai sekarang harus tetap dijaga dan lestarikan. Budaya Bali
dengan keunikannya merupakan kekayaan masyarakat Bali yang tak ternilai
harganya, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur tradisi kehidupan
masyarakat Bali. Dari segi bahasa misalnya,
masyarakat Bali mengenal adanya sor
singgih basa Bali, dimana sor singgih
basa tersebut adalah tingkatan-tingkatan bahasa Bali yang digunakan oleh
masyarakat Bali. Tingkatan-tingkatan penggunaan bahasa Bali ini terjadi
karena adanya rasa saling menghormati dan saling menghargai antara sesama
masyarakat Bali. Misalnya bila ada anggota masyarakat Bali menyapa orang yang
belum mereka kenal maka mereka akan menggunakan bahasa Bali “ngesorang raga” dan “nyinggihang” orang yang diajak
berbicara. Serhingga dengan sor singgih
basa tersebut, masyarakat Bali bisa saling menghormati antara masyarakat
yang satu dengan yang lainnya di dalam berinteraksi. Begitu pula dengan adat
dan budaya yang beraneka ragam yang bisa ditemukan di pulau yang indah dan unik
ini. Tentunya semua memiliki nilai-nilai luhur yang patut dijaga dan dilestarikan.
Dasa warsa ini
Perkembangan kebudayaan Bali sangat dipengaruhi oleh dampak globalisasi yang
dirasakan sangat memerlukan perhatian. Ketika budaya asing tidak lagi dapat
disaring maka akan memporak-porandakan kebudayaan masyarakat Bali, maka
terjadilah pergeseran budaya yang akan mempengaruhi pola kehidupan masyarakat
Bali. Dan ketika itu terjadi, sedikit demi sedikit adat dan kebudayaan
masyarakat Bali akan terkikis. Hal itu menandakan bahwa upaya-upaya strategis harus
segera dilakukan untuk mengantisipasi kemerosotan budaya Bali. Jangan sampai
adat dan kebudayaan yang luhur ini menjadi hilang dan tinggal sejarah masa
lampau.
Bahasa dan sastra
Bali adalah salah satu asset kebudayaan masyarakat Bali. Dewasa ini bahasa Bali
yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Bali, juga terpengaruh oleh dampak
globalisasi. Bahasa dan sastra Bali sudah semakin tidak terawat. Di kalangan
para remaja misalnya, sudah jarang menggunakanbahasa Bali dalam pergaulan
sehari-hari. Hal itu tentu kembali pada dampak perkembangan globalisasi dewasa
ini yang sangat mempengaruhi pola hidup masyarakat Bali.
Hartono (Bali Pos,
24 Oktober 2004) menyatakan bahwa, “Keluarga-keluarga muda di kawasan perkotaan
Bali lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari,
khususnya dalam mendidik anak-anak mereka sejak dini. Sehingga, kalangan remaja
di kota pulau dewata ini cenderung kurang memahami bahasa Bali, khususnya
bahasa Bali halus. diprediksikan
bahwa di masa depan, kemungkinan bahasa Bali
halus akan semakin jarang digunakan. Bahkan ada kemungkinan, dalam beberapa
tahun ke depan, bahasa Bali halus
dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Fenomena seperti
diatas merupakan gambaran yang sangat memprihatinkan, dimana bahasa Bali yang
merupakan salah satu asset kebudayaan masyarakat Bali sudah di ambang
kepunahan. Jika ramalan itu terjadi, tentu kebudayaan masyarakat Bali tidak
akan bercahaya seperti dahulu lagi. Gambaran masa depan masyarakat Bali itu
mengantarkan kita pada upaya-upaya apa yang harus kita lakukan bersama-sama
sekarang ini. Upaya-upaya untuk melestarikan pulau Bali dengan aneka kekayaan
yang dimiliki patut dilakukan oleh semua pihak, terlebih lagi generasi muda
terpelajar dan cendikiawan Hindu hendaknya terpanggil untuk melakukan
karya-karya nyata yang bertujuan mengangkat harkat derajat dan kesejahtraan masyarakat
sekaligus dalam usaha melestarikan warisan budaya yang merupakan aset nasional
yang tiada taranya (Titib, 1999:159)
Dari pernyataan
tersebut, usaha atau upaya pelestarian kebudayaan masyarakat Bali adalah
tanggung jawab kita bersama. Dengan kesadaran kita bersama upaya-upaya itu
tidak akan terlalu sulit untuk dicapai. Bila ditelusuri kembali dalam masyarakat Bali,
banyak upaya yang semestinya bisa diperbuat untuk melestarikan bahasa dan
sastra Bali. Dalam organisasi-organisasi yang terdapat diberbagai daerah di
Bali, kerap kali dalam melakukan diskusi atau pertemuan tertentu masih
menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya. Di dalam organisasi
pesantian (yang sering di sebut sekaa
santi), penggunaan bahasa Bali tidak akan dapat ditinggalkan. Karena yang
dibahas di dalamnya adalah kesusastraan
Bali, walaupun ada kesusastraan jawa
kuna dan sansekrta dalam
pembahasannya (mabebasan dan dharmatula) akan menggunakan bahasa
Bali agar mudah dipahami dan diambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
oleh anggota sekaa santi. Kegiatan mabebasan adalah kegiatan yang rutin
dilakukan pada setiap pertemuan oleh sekaa
santi ini. Kegiatan mabebasan ini
adalah kegiatan penerjemahan isi sastra ke dalam bahasa yang lebih dipahami
oleh kalayah umum (tentunya dalam bahasa Bali). Kegiatan ini dilakukan dengan
cara menembangkan tembang-tembang macepat,
kidung, kekawin, sloka atau palawakia
oleh seorang anggota sekaa santi dan
langsung diterjemahkan (mabebasan)
oleh salah seorang anggota lainnya. Sehingga dengan mudah akan dapat dipahami
isi sastra tersebut. Dengan kemudahan untuk memahami isi kesusastraan yang di
terjemahkan, tentu nilai-nilai yang terkandung dalam sastra tersebut juga akan
mudah diambil oleh masyarakat.
(A Teew, 1982:13) mememuat “kehidupan mabebasan” itu demikian. “Sarjana Bali
yang menyelamatkan dan menghidupkan tradisi filologi setempat itu melakukan
kritik teks, penafsiran dan penerapan sastra ini dengan cara mereka sendiri,
dan dalam tahun-tahun belakangan ini saya beberapa kali dapat memastikan bahwa
tradisi Bali bernilai tinggi dan bermafaat
sekali. Dalam kalangan terpelajar Bali tersimpan suatu pengetahuan dan
keakraban dengan sastra ini yang bagi orang bukan Bali, baikpun dari Indonesia atau dari luar Indonesia sukar dicapai”.
Dengan kalimat-kalimat di atas A Teew
telah menempatkan dan memberi nilai yang tinggi terhadap tradisi mabebasan, utamanya ditinjau dari sudut
ilmu pengetahuan. Dalam kegiatan mabebasan,
berlangsunglah pekerjaan mengadakan kritik teks, penafsiran dan penerapan sastra
diiringi oleh seni menembangkan sastra tembang itu sendiri. Pesantian ini adalah wadah yang sangat baik untuk mengembangkan
bahasa dan sastra Bali yang berupa tembang atau. Sekaa santi banyak sekali
dapat di temukan di berbagai daerah di Bali. Salah satu kegiatan pesantian dapat ditemukan di Desa
Sangkan Buana, kecamatan Klungkung, kabupaten Klungkung Di tengah hiruk pikuk
keramaian kota Singaraja, sekaa santi
Dharma Yajna (nama sekaa santi di
Desa Sangkan Buana) di Desa Sangkan Buana-Klungkung masih eksis dalam memelihara
tembang-tembang Bali yang berupa pupuh,
kidung, wirama, sloka dan palawakia.
Keberadaan sekaa santi ini tentunya
sangat mendukung upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali. Dengan adanya sekaa santi dharma yajna tentu banyak
sumbangsih yang dapat diambil untuk bahasa dan sastra Bali. Hal itu menjadi
menarik perhatian penulis untuk meneliti sekaa
santi di Desa Sangkan Buana, dengan judul “Kontribusi
Sekaa santi dalam Upaya Pelestarian Bahasa dan Sastra Bali di Desa Sangkan
Buana-Klungkung”.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1
Bagaimanakah
bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan pesantian
di Desa Sangkan Buana-Klungkung?
2
Bagaimanakah
bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan mabebasan
di Desa Sangkan Buana-Klungkung?
3
Bagaimanakah
kontribusi Sekeha Santi dalam upaya
pelestarian bahasa dan sastra Bali di Desa Sangkan Buana-Klungkung ?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Sebuah penelitian ilmiah, sudah seharusnya memiliki tujuan yang jelas. Salah satu kunci
keberhasilan dalam penelitian adalah tujuan penelitian. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah:
1.3.1
Tujuan
umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perkembangan bahasa dan sastra Bali khususnya
di dalam pesantian di Desa Sangkan
Buana-Klungkung. Karena dengan mengetahui perkembangan bahasa dan sastra Bali
kita akan bisa memprediksikan langkah-langkah atau upaya-upaya strategis yang
semestinya kita lakukan untuk melestarikan kebudayaan masyarakat Bali khususnya
bahasa dan sastra Bali.
1.3.2
Tujuan
khusus
1.
Untuk
mengetahui bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan pesantian di Desa Sangkan Buana-Klungkung
2.
Untuk
mengetahui bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan mabebasan di Desa Sangkan Buana-Klungkung
3.
Untuk
mengetahui kontribusi Sekaa Santi
dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali di Desa Sangkan Buana-Klungkung.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Sebuah penelitian ilmiah pasti dapat memberikan
manfaat terhadap masyarakat maupun terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas
maka Manfaat penelitian ini ada dua bagian yaitu:
1.4.1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan
ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan bahasa Bali, khususnya di dalam sekaa santi sebagai salah satu wahana
pelestarian bahasa dan sastra Bali di dalam kehidupan masyarakat Bali, karena
bahasa dan sastra Bali tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan pesantian. Disamping itu, penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan acuan untuk para peneliti pada penelitian
selanjutnya.
1.4.2.
Manfaat
praktis
Penelitian ini diharapkan
bermanfaat untuk menumbuhkembangkan bahasa dan sastra Bali yang kini sudah
semakin di ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Bahasa Bali merupakan salah satu
aset budaya yang diwariskan kepada kita yang harus tetap kita lestarikan dan
kita jaga agar tidak semakin punah. Oleh karena itu hasil penelitian ini
diharapkan bermanfaat bagi:
1.
Generasi
muda, yaitu untuk memberikan inspirasi agar ikut memperhatikan bahasa dan
sastra Bali sebagai salah satu budaya Bali, karena generasi muda adalah ujung
tombak perkembangan budaya Bali.
2.
Masyarakat
Desa Sangkan Buana, yaitu untuk menjaga dan melestarikan seni pesantian, yang
sangat diperlukan dalam kegiatan-kegiatan Agama Hindu, disamping itu juga dapat
bermanfaat untuk mempelajari bahasa dan sastra Bali.
3.
Pemerhati
bahasa dan sastra Bali, yaitu untuk dijadikan perbandingan dalam penelitian
yang serupa dalam sekup yang lebih luas.
4.
Pemerintah
Kabupaten Klungkung, untuk dijadikan pertimbangan bahwa bahasa dan sastra Bali
sangat membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, terutama dari pihak
pemerintah.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI
2.1
KAJIAN
PUSTAKA
Kajian Pustaka diperlukan dalam
penelitian sebagai bahan perbandingan dan acuan agar yang akan diteliti tidak
sama dengan penelitian yang sudah pernah diteliti, baik kajian maupun lokasi
penelitiannya. Terkait dengan hal tersebut, peneliti akan menguraikan terlebih
dahulu tentang penelitian atau karya ilmiah yang menyangkut masalah yang
berkaitan dengan penelitian ini sebagai berikut:
Listina (2009), dalam hasil penelitiannya
yang diberi judul “Peranan Sekaa Santi Mekar Sari dalam Melestarikan Tradisi Keberagamaan Hindu Pada Desa
Pakrama Penarukan” sekaa santi Mekar Sari
sebagai sistem sosial keberagamaan Hindu tampil dalam kegiatan di khayangan tiga, di Banjar, dan pada kegiatan panca
yajna desa pakraman penarukan. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut sekaa santi Mekar sari
tidak berpatokan atau terpaku pada materi, inilah bentuk sosial dari sekaa santi Mekar sari. Usaha sekaa santi Mekar Sari dalam
melestarikan tradisi keberagamaan Hindu
pada desa pakraman Penarukan yaitu
setiap melaksanakan pesantian
diupayakan untuk melantunkan sekar alit
dengan berbagai jenis pupuh, sekar madia
(kidung warga sari) yang ada kaitannya dengan yajna dan sekar agung
atau wirama bernuansa keberagamaan. Sekaa santi Mekar Sari juga merekrut
anggota baru dari generasi muda sehingga terjadi regenerasi. Sekaa santi Mekar Sari juga secara rutinitas mengadakan pelatihan
setiap purnama tilem di Khayangan Tiga Desa Pakraman Penarukan.
Bahwa sekaa santi Mekar sari berperan
besar di Khayangan tiga di Desa Pakraman Penarukan setiap diadakan upacara yajna. Di samping itu sekaa santi Mekar Sari berperan besar di
banjar pakraman di setiap kegiatan panca yajna, yang diadakan oleh krama desa Pakraman Penarukan.
Hal hasil
penelitian menunjukan bahwa sekaa santi
Mekar Sari telah mampu melestarikan seni budaya Bali di Desa Pakraman Penarukan yaitu melestarikan
tradisi mabebasan dengan membahas dan
melantunkan sekar alit (geguritan), sekar
madia (kidung warga sari) dan sekar agung (wirama). Dalam kaitannya dengan
penelitian ini akan sangat bermanfaat sebagai acuan dalam melaksanakan
penelitian. Dimana yang diteliti adalah pesantian.
Mara, (2009), dalam
hasil penelitiannya yang diberi judul ”Peranan Pesantian dalam Menyebarluaskan Ajaran Agama Hindu di Desa Menanga,
Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem”, didapatkan hasil bahwa “Pesantian di Desa Menanga, Kecamatan
Rendang, Kabupaten Karangasem memiliki peranan penting sebagai salah satu media
penerangan agama Hindu. Ketika umat Hindu hendak memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa, pesantian
yang dimaksud berperan sebagai pencurahan rasa bakti, sebagai alat pranayama dalam rangka membangun
konsentrasi, dan sebagai pembimbing perasaan menuju suasana kesucian, sebuah
syarat untuk bisa menghubungkan diri dengan Tuhan. Dengan demikian pesantian di Desa Menanga, Kecamatan
Rendang, Kabupaten Karangasem merupakan salah satu media penyebarluasan ajaan
agama Hindu dan wadah pelestarian budaya yang bernafaskan agama Hindu.
Sesuai dengan penelitian di atas, dapat memberikan
kontribusi terhadap penelitian ini, dimana pelaksanaan pesantian adalah merupakan sebuah pelestarian kebudayaan Bali yang dalam hal ini berupa bahasa dan sastra
Bali yang tentunya sangat penting sebagai media media penerangan agama Hindu.
Hal itu menunjukan betapa pentingnya bahasa dan sastra Bali untuk diteliti dan
sangat relevan dalam penelitian yang akan penulis laksanakan.
Selanjutnya dalam hasil penelitian
yang dilakukan oleh Sutama (2009), yang diberi
judul “Penanaman Ajaran Agama Hindu Melalui Pesantian di Desa Boilan Kecamatan Tiloan Sulawesi tengah” dengan hasil penelitian yaitu:
Faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan pembinaan atau penyuluhan agama
Hindu pada kelompok pesantian
seperti: Faktor sarana prasarana, faktor lingkungan, faktor ekonomi, faktor
tempat, kurangnya partisipasi masyarakat, kurangnya tenaga Pembina atau
penyuluh dan lain-lain. Hal semacam itu yang membuat pembinaan tidak dapat
berjalan dengan baik. Kendala-kendala yang dihadapi selama melaksanakan
pembinaan dapat diatasi dengan mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak.
Dimana pihak-pihak yang bekerjasama antara lain Departemen Agama, tokoh-tokoh masyarakat
dan lain-lain. Tujuan dari kerjasama yang dilakukan oleh Pembina agar dapat
menutupi kendala-kendala yang terjadi dalam pelaksanaan pembinaan.
Penelitian di
atas dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian ini, dimana dalam
penelitian ini tentunya dalam sekeha
santi yang akan diteliti akan ada sebuah kendala-kendala yang dihadapai
dalam pelaksanaan pesantian maupun di
dalam pembinaan atau pelatihannya. Sehingga dengan penelitian ini akan dapat
memberikan gambaran tentang solusi yang mungkin diberikan untuk mengatasi
kendala tersebut.
Utami (2009),
dalam hasil penelitiannya yang diberi judul “Peranan Dharmagita dalam Memasyarakatkan Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu
di Desa Pakraman Selat Kecamatan Kelungkung Kabupaten Kelungkung”, dengan hasil
penelitian sebagai berikut: Dharmagita
di Desa Pakraman Selat, Kecamatan Kelungkung, Kabupaten Kelungkung pada umumnya
merupakan salah satu unsur Sad Dharma,
enam metode yaitu Dharma Sedana, Dharma
Yatra, Dharma Tula, Dharma Santi, Dharma Wecana. Dharmagita untuk
menyebarluaskan ajaran-ajaran agama Hindu yang meliputi Tatwa, Etika dan Upacara,
dalam bentuk geguritan atau nyanyian
suci. Dharmagita di Desa Pakraman
Selat, Kecamatan Kelungkung, Kabupaten Kelungkung merupakan wadah pelestarian
yang bernafaskan Hindu.
Dari hasil penelitian di atas dapat memberikan kontribusi
terhadap penelitian ini, dimana dalam penelitian ini pesantian merupakan wahana pelestarian bahasa dan sastra Bali.
Dimana sastra-sastra Bali adalah merupakan sumber-sumber ajaran Agama Hindu.
Sanjaya, (2010) dalam hasil penelitiannya yang diberi
judul ”Pembelajaran Agama Hindu Melalui Pesantian Pada Masyarakat Desa pakraman
Sudaji Kecamatan Sawan Kabupaten Klungkung”
dengan hasil penelitian sebagai berikut: Pesantian dijadikan suatu pembelajaran Agama Hindu di Desa Pakraman
Sudaji disebabkan oleh adanya pandangan dan minatwarga terhadap pesantian, yaitu sebagai model pembinaan
perilaku, sebagai bagian dari yajna,
sebagai organisasi bernuansa seni dan sebagai wadah interaksi sosial. Proses
pelaksanaan pesantian rutin dilaksanakan seminggu sekali dengan kegiatan
interpretasi karya-karya sastra dan penggalian nilai-nilai Agama Hindu. Adapun
nilai-nilai yang ditemukan diantaranya adalah nilai etika, nilai estetika dan
nilai keagamaan. Pesantian memberikan
dampak terhadap perilaku kehidupan masyarakat Desa Pakraman Suidaji baik secara individual maupun sosial.
Pelaksanaan pesantiani juga menemukan
kendala yang mengarah pada masalah personal terkait dengan latar belakang
pendidikan, ekonomi, figur teladan, kesempatan, serta permasalahan antar
pribadi.
2.2
KONSEP
Mardalis (2004:35) menyatakan bahwa, Konsep
berfungsi menyerderhanakan arti kata atau pemikiran tentang ide-ide, hal-hal
dan kata-kata benda maupun gejala sosial yang digunakan agar orang lain yang
membacanya dapat segera memahami maksudnya sesuai dengan keinginan Penulis yang
memakai konsep tersebut. Jadi, dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan
konsep merupakan maksud dan arti dari kata-kata maupun istilah serta gejala
sosial yang digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Konsep sangat diperlukan
dalam penelitian ilmiah, dengan konsep yang jelas, pembaca akan lebih cepat
menangkap secara jelas tentang maksud peneliti yang sebenarnya.
Selanjutnya Narbuko dan Achmadi (2005:42) menyatakan
bahwa konsep adalah unsur pokok daripada penelitian. Penentuan dan perincian konsep ini dianggap sangat
penting agar persoalan-pesoalan utamanya tidak menjadi kabur. Konsep yang
terpilih perlu ditegaskan, agar tidak terjadi salah pengertian mengenai arti
konsep tersebut. Tetapi perlu diperhatikan, karena konsep merupakan hal yang
abstrak, maka perlu diterjemahkan dalam kata-kata sedemikian rupa, sehingga
dapat diukur secara empiris. Untuk itu akan diuraikan secara sistematis tentang
pemikiran yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan dengan mencari
pengertian-pengertian atau konsep-konsep yang relevan dengan variabel-variabel
yang menjadi topik penelitian ini sehingga di peroleh pemahaman secara jelas
terhadap permasalahan yang dikemukakan.
1.
Kontribusi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata
kontribusi berarti sumbangan. Itu berarti kontribusi adalah segala sesuatu yang
dapat diberikan kepada lembaga, intitusi, perkumpulan atau yang lainnya yang
berupa benda atau berupa pemikiran yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga yang
diberikan sumbangan tersebut. Dalam
penelitian ini kontribusi yang dimaksud adalah sebuah sumbangan yang dapat kita
ambil dari sekaa santi sebagai tempat
bertumbuh kembangnya bahasa dan sastra Bali terhadap upaya pelestarian bahasa
dan sastra Bali.
2.
Sekaa
Santi
Pada masyarakat Bali
terutama pada kehidupan sosial dan kemasyarakatan yang ada, berkembang suatu sistem
kesatuan sosial yang disebut banjar dan desa. Di samping itu berkembang pula
kelompok-kelompok kepentingan lain dalam wujud yang lebih kecil, baik dalam
lingkup kepentingannya, cakupan wilayah, maupun jumlah anggotanya yang disebut sekaa. Kadang-kadang sekaa
ini merupakan bagian dari organisasi banjar atau desa yang ada, tetapi tidak
jarang pula sekaa-sekaa tersebut
terlepas dari ikatan banjar atau desa. Pada beberapa kasus bahkan anggota sekaa bisa terdiri atas anggota beberapa
banjar atau desa, sehingga merupakan bentuk organisasi sosial yang khas yang
meliputi atau mencakup suatu wilayah yang cukup luas. Sekaa merupakan kesatuan dari beberapa orang anggota banjar yang
menghimpun diri atas dasar kepetingan yang sama dalam beberapa hal (Pitana,
1994:113)
Clifford
Geertz dalam Pitana, (1994:113) merumuskan sekaa
sebagai lembaga atau kelompok sosial sebagai berikut: Sekaa itu merupakan suatu organisasi yang dibentuk untuk mencapai
suatu tujuan atau maksud yang khusus. Kelompok-kelompok seperti itu didirikan
untuk sementara waktu saja, tetapi ada pula yang hidup bertahun-tahun bahkan
untuk beberapa angkatan lamanya. Bisa didirikan untuk satu tugas saja,
berlangsung dari satu tugas ke tugas yang lain; ada yang amat luas sifatnya dan
ada juga yang terdiri dari beberapa orang anggota saja. Adapun sekaa tidak pernah sejajar tetapi selalu
melintang batas-batas kesatuan sosial yang lain, seolah-olah mempersatukan
orang-orang dari berbagai golongan, semata-mata atas pertalian persahabatan
yang punya persamaan kebutuhan.
Dari rumusan
itu, dapat diambil bahwa sekaa adalah
sebuah organisasi yang terdapat di dalam masyarakat yang berada dibawah tataran
Desa dan Banjar yang tentunya bertujuan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang
ada di banjar atau desa tersebut. Dengan kepentingan masing-masing, ada
berbagai jenis sekaa yang ada di
pulau Bali ini. Sekaa-sekaa itu
terdapat di seluruh pelosok pulau Bali ini. Masyarakat yang suka dengan tabuh atau gong misalnya, mereka
berkumpul sehingga terbentuk sekaa
gong. Masyrakat yang berkepentingan menanam padi, mereka berkumpul untuk
membentuk sekaa celek. Masyarakat
yang berkepentingan memanen padi, mereka membentuk sekaa manyi, dan masih banyak kepentingan-kepentingan lain yang
menyebabkan terbentuknya sekaa-sekaa
tersebut. Termasuk masyarakat yang senang dengan pesantian atau dharma gita,
mereka membentuk sekaa santi.
Sekeha Santi adalah
kelompok masyarakat pecinta sastra daerah Bali yang berupa tembang. Di dalam sekeha santi ini terjadi olah vokal
tradisional. Sekeha santi secara
Etimologi berasal dari kata ”sekaa”
yang artinya perkumpulan, kelompok dan ”Santhi”
(bahasa Sansekerta) yang berarti
ketenangan, kesentosaan, dan doa (penolak Bala), sekeha santi berarti sebuah perkumpulan atau kelompok pecinta
sastra daerah Bali yang bertujuan untuk mencari ketenangan, kesentosaan dan
berdoa dengan melantunkan tembang-tembang. Dalam Bahasa Bali. Kata ”Santhi” berubah menjadi ”Santi”. Kemudian kata itu mendapat
imbuhan gabung/ konfik pe-an yang berarti tempat. Kata Santi setelah mendapat konfik pe-an menjadi pesantian yang mempunyai arti
tempat kedamaian atau tempat mencari kedamaian. Jadi pesantian merupakan wadah kelompok
belajar terutama dalam mempelajari ilmu yang terkandung dalam kesusastraan Bali
sehingga tercapai sebuah kedamaian.
Sekeha santi sebagai wadah
kelompok seniman seprofesi memiliki jadwal latihan yang tetap. Biasanya 1
sampai 2 minggu sekali. Dalam latihan yang diadakan dalam kelompok itu satu
orang atau lebih bertindak sebagai pelatih dan pembina. Disini mereka berlatih
dari baru belajar nembang sampai dengan belajar menerjemahkan. Pelatih atau
pembina adalah orang yang telah lanjut usia atau orang yang punya kemampuan
yang lebih dari anggota yang lain. Kadang-kadang dalam acara latihan diselingi
dengan arisan uang yang diundi sebulan sekali. Hal ini dimaksudkan untuk
mengikat anggota, agar perkumpulan tidak mudah bubar atau dapat bertahan lebih
lama.
Di Bali jumlah pesantian
yang ada sudah banyak sekali. Bahkan setiap banjar memiliki wadah kelompok santi ini. Di Bali jumlah pesantian umumnya memiliki jumlah
anggota berkisar antara 10 sampai 35 orang. Keanggotaan pesantian bersifat sukarela. Hal ini karena dharmagita hanya merupakan kegemaran semata-mata. Persyaratan untuk
masuk menjadi anggota pesantian
hanyalah kemauan. Sekeaa santi
biasanya berdiri bila ada seseorang tokoh yang memprakarsainya. Orang yang
masuk menjadi anggota sekaa santi,
terdiri atas berbagai gologan seperti tani, buruh, pegawai atau orang-orang
wiraswasta.
3. Pelestarian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) lestari
berarti tetap seperti keadaannya semula;
tidak berubah; bertahan; kekal. Kemudian
kata lestari mendapat imbuhan berupa awalan pe- dan akhiran –an sehingga
menjadi pelestarian, dimana pelestarian berarti proses, cara, perbuatan
melestarikan; perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan. Dalam kaitannya
dengan penelitian ini pelestarian dimaksudkan untuk mempertahankan, menjaga,
melindungi, bahasa dan sastra Bali dari kemusnahan. Karena telah kita ketahui
bersama bahasa kebanggaan kita yaitu bahasa Bali, kini sudah semakin memudar
penggunaannya. Bahasa dan sastra Bali sebagai salah satu aset budaya Bali
sangat membutuhkan perhatian dari berbagai pihak untuk menjaganya agar tetap
lestari agar dapat kita wariskan kepada generasi penerus.
4. Bahasa
Bahasa adalah penggunaan kode
yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaksis
untuk membentuk kalimat
yang memiliki arti. Bahasa memiliki berbagai definisi. Definisi bahasa adalah sebagai berikut:
1.
suatu
sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
2.
suatu
peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke dalam pikiran
orang lain
3.
suatu kesatuan sistem
makna
4.
suatu
kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk
dan makna.
5.
suatu
ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh: Perkataan,
kalimat, dan lain-lain.)
6.
suatu
sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik.
Bahasa erat
kaitannya dengan kognisi
pada manusia, dinyatakan bahwa bahasa adalah fungsi kognisi
tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan. Ilmu yang mengkaji bahasa ini disebut
sebagai linguistik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia secara terminology mengartikan bahasa
sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer
yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi,
dan mengidentifikasikan diri.
Keraf (1994:1) memberikan pengertian bahasa sebagai alat
komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia. Bahasa juga mencakup dua bidang, yaitu bunyi vokal dan arti
atau makna. Bahasa sebagai bunyi vokal berarti sesuatu yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia berupa bunyi yang merupakan getaran yang merangsang alat
pendengar. Sedangkan bahasa sebagai arti atau makna berarti isi yang terkandung
di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan orang lain.
Bahasa merupakan salah satu kegiatan sosial dan merupakan
bagian dari kebudayaan. Bila dihubungkan pengertiannya bahwa setiap kebudayaan
memiliki tujuh unsur yaitu: system mata pencarian, peralatan, kemasyarakatan,
ilmu pengetahuan, agama, kesenian dan bahasa. Itu berarti bahasa merupakan
bagian dari kebudayaan.
Semua manusia atau kelompok manusia di dunia ini
mempunyai bahasa. Bahasa dan manusia tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan
sehari-hari. Manusia sebagai mahluk sosial selalu membutuhkan bahasa sebagai
alat dalam pembentukan masyarakat. Dengan demikian bahasa Bali adalah sistem
lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang bersifat arbiter yang
digunakan oleh masyarakat Bali untuk berkomunikasi.
Seperti yang sudah di katakan sebelumnya bahwa bahasa
Bali merupan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang di pelihara dengan baik
oleh penuturnya, yaitu etnis Bali. Penutur bahasa Bali sebagian besar berada di
wilayah Provinsi Bali. Selain itu, penutur bahasa Bali juga terdapat di Lombok
Barat, di daerah-daerah transmigrasi seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah,
Sulawesi Tenggara, Sumatra Selatan dan di Pulau Sumbawa. Bahasa-bahasa daerah
di Indonesia, termasuk bahasa Bali dalam kaitannya dengan politik nasional,
berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah (dalam hal ini kususnya Bali),
(2) lambang identitas daerah, (3) sebagai alat perhubungan di dalam keluarga
dan masyarakat, (4) pendukung bahasa Nasional, (5) pengantar di sekolah Dasar
pada tingkat permulaan, dan (6) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan
daerah Bali.
5. Sastra
Di dalam bahasa Indonesia, kata sastra berasal dari
bahasa Sansekerta, dari akar kata
Sas- dalam kata turunan berarti mengarahkan, memberi petunjuk, dan sebagainya, sedangkan kata –tra biasanya menunjuk alat. Jadi kata sastra dapat berarti alat untuk
mengajar, buku petunjuk.
Sesuai dengan konteks budaya Bali, Bagus (1988:65-66)
menguraikan tentang hal itu sebagai berikut: Hurup atau Aksara Bali
dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Bali baku dengan dua kata yaitu, Aksara dan Sastra. Di samping terdapat kata non baku Tastra yang merupakan bentuk
rusakan dari kata Sastra tadi, lebih
lanjut beliau mengatakan kedua kata itu mengacu pada makna yang sama, namun pemakaian
kata Sastra lebih luas umpamanya
dalam memperoleh awalan nasal (N-) sehingga kata Sastra menjadi Nyastra yang
artinya berilmu.
Dengan demikian
kata sastra dalam bahasa Bali digunakan dalam cakupan makna yang sangat
luas yaitu dengan adanya istilah Nyastra
atau Wong Nyastra yang artinya orang
yang berilmu. Arti berilmu di sini dalam konteks budaya Bali tidak saja tahu
tentang sastra, tetapi “segala” ilmu
pengetahuan. Pengertian sastra di Bali pertama-tama berarti apa yang tertulis,
peraturan, kitab yang berisi peraturan, kitab pelajaran atau kitab ilmu
pengetahuan, oleh karena itu sering kita dengar “malajah ngugonin sastra” yang berarti belajar menggeluti ilmu
pengetahuan.
Sastra Bali (Daerah) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Daerah dalam hal ini bahasa
Daerah yang dimaksud adalah bahasa Bali. Jadi sastra Bali yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
sastra-sastra Bali yang ada di daerah Bali ini yang digunakan dan dibahas
didalam pesantian.
2.3 TEORI
Untuk memperjelas jalannya penelitian yang akan
dilaksanakan, maka peneliti perlu menyusun kerangka pemikiran mengenai konsepsi
tahap-tahap penelitiannya secara teoritis. Kelinger dalam (Sugiono, 2010:79) menyatakan bahwa, Teori
adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang berfungsi
untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antar
variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan
penelitian yang telah dikemukakan, maka landasan teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah; teori
sosiolinguistik, teori intraksionalisme simbolik dan teori Fungsi
2.3.1
Teori
Sosiolinguistik
Setiap teori tentu memiliki sebuah landasan agar teori
itu dapat dipercaya oleh orang yang hendak menganutnya, demikian juga dengan
kajian sosiolinguistik. Dalam teori ini menurut para ahli sosiolinguistik
memandang bahwa hakikat bahasa sebagai kajian objek mereka. Hakikat bahasa
disini dapat dibagi menjadi dua yaitu interdisipliner dan disipliner.
Interdisipliner memiliki sifat yakni makrolinguistik, kajian ini berorientasi
pada factor eksternal bahasa. Setelah berkembang kajian interdisipliner lebih
mengarah ke sifat dinamika. Sedangkan disipliner memiliki sifat mikrolingustik
dan condong kearah sistem internal bahasa. Kajian bahasa memiliki sebuah
perangkat yang terbagi atas langue dan parole dimana telah kita ketahui bahwa
langue memiliki sifat abstrak dan parole bersifat kongkret.
Keduanya akan membentuk dua asumsi dasar kajian bahasa
yakni pertama, bahasa dipandang sebagai sistem tanda yang dapat menyesuaikan
diri dengan aturan-aturan yang dapat membentuk tata bahasa dan kedua, bahasa
dipandang sebagai perangkat tingkah laku yang telah ditransmisikan secara
cultural atau dipakai oleh sekelompok individu. Sistem tanda yang mengacu
kepada kode ini memiliki dalil yaitu bahasa sebagai sistem komunikasi, bersifat
sistematis maupun sistemis, bahasa anak terhadap bahasa pertamanya cukup
lengkap. Sedangkan asumsi yang kedua mengarah ke kesejajaran dan korelasi ini
juga memiliki suatu paham bahwa bahasa sebagai tingkah laku budaya manusia,
didalam masyarakat tutur diperlukan adanya pembaruan, masyarakat tutur selalu
ada reaksi subjektif terhadap variasi bahasa, di dalam masyarakat tutur dan masyarakat bahasa terdapat
varian bahasa. Selain landasan dan perangkat asumsi kajian bahasa juga memiliki
4 tipe pemerian ilmiah yakni deduktif, probabilistic, fungsional dan genetic.
Perbedaan antara sosiolinguistik dengan linguistic
ialah jika berdasarkan orientasi filosofis, sosiolinguistik menganut pahan
nominalisme sedangkan linguistik lebih kearah realisme. Dari sistem bahasa
sosiolinguistik bersifat terbuka, linguistic bersifat tertutup. Pada sifat
bahasa sosiolinguistik bersistem yang heterogen sedangkan linguistic hanya
homogen. Jika dilihat dari focus deskripsi, sosiolinguistik lebih memperhatikan
fungsi bahasa dalam masyarakat sedangkan linguistic lebih mementingkan
struktur. Dilihat dari data sosiolinguistik bisa berupa verbal dan non verbal
sedangkan linguistic hanya verbal saja. Pada unit data sosiolinguistik berupa
wacana sedangkan linguistic berupa kalimat. Berdasarkan pendekatan
sosiolinguistik cenderung multidisipliner sedangkan linguistic kearah unidisipliner.
Kesimpulan diatas pada kajian ini cenderung mengindahkan fungsi bahasa tersebut
dalam peristiwa atau kegiatan social yang terjadi dalam masyarakat secara
terpadu misalnya sistem social, stratifikasi social, diferensiasi social,
mobilitas social dan pranata social.
Dimensi-dimensi
yang terdapat dalam sosiolinguistik antara lain identitas social penutur dan
mitra tutur entah dalam hal ini si
mitra tutur maupun penutur keberadaannya segabai bawaan, usaha maupun
pemberian. Tempat dan waktu terjadinya komunikasi (tempat dan waktu pembicaraan
sangatlah berpengaruh terhadap pemilihan kode dan gaya bertutur seseorang),
analisis sinkronik dan diakronik (diwujudkan dalam deskripsi pola-pola dialek
social baik berdasar pada asal daerah, kelompok social, tingkat formalitas
maupun berdasar pada perkembangan waktu), penilaian social terhadap bahasa
(dimensi tersebut berhubungan dengan sikap bahasa yang terdiri atas kognitif,
afektif dan kognititif), tingkat dan luasnya variasi bahasa (dari hal ini akan
terlihat jelas bahwa keheteroginan bahasa sangatlah bisa terwujud,
keheteroginan bahasa menyebabkan hadirnya variasi bahasa, ciri ini dibedakan
menjadi multidialektal, multilingual, dan ultisosietal), dan penerapan praktis
yang merupakan bentuk kongkrit kontribusi dari hasil kerja sosiolinguistik.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini teori ini dapat digunakan sebagai alat
untuk mengkaji bahasa yang digunakan oleh sekeha
santi di dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat di lingkungan sekeha santi tersebut
2.3.2
Teori Interaksional Simbolik
Teori ini di gagas oleh
George Herbert Mead. ”Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut
memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang
dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik. Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang
mendasari interaksi simbolik antara lain:
1
Pentingnya
makna bagi perilaku manusia,
2
Pentingnya konsep
mengenai diri,
3
Hubungan antara
individu dengan masyarakat
Tema
pertama pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi
perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan
dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada
akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses
interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama. Hal
ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969)dalam West-Turner
(2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:
1.Manusia bertindak terhadap
manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka,
2. Makna diciptakan dalam
interaksi antar manusia,
3. Makna dimodifikasi melalui
proses interpretif.
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada
pentingnya ”Konsep diri atau Self-Concept.
Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep
diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial
dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua
asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes dalam West-Turner (2008: 101),
antara lain:
1.
Individu-individu
mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
2.
Konsep
diri membentuk motif yang penting untuk perilaku
Tema terakhir
pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan
masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi
perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan
pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah
untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.
Asumsi- asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah:
1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses
budaya dan sosial,
2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Mead ( dalam Supratiknya, 1993 : 156 ) menyatakan
bahwa aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami perilaku sosial, namun hal
tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia lebih tertarik pada
interaksi, dimana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak
yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya
diberi bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan
“satu bentuk simbol yang mempunyai arti penting” (a significant symbol”). Kata-kata dan suara lainnya,
gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body
langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang bermakna.
Mead tertarik mengkaji
interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan
simbol yang bermakna. Perilaku
seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula
perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita
mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca
simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain
tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.
Interaksi di antara beberapa
pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa pun manakala
simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga
semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena
individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya
yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara
mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak
tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak
bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan
makna dan merencanakan cara tindakan mereka.
Banyak kualitas perilaku
manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang: orang-orang membuat peta,
menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam
upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini,
individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan perilaku orang
lain.
Menurut Wallace dkk.
1986 ( dalam Triguna, 2000 : 35) menyatakan bahwa ada empat perangkat simbol
yaitu : (1) Simbol kontruksi yang bersifat kepercayaan dan biasanya merupakan
inti dari agama, (2) simbol evaluasi berupa penilaian moral yang sangat sarat
dengan nilai, norma, dan aturan, (3) Simbol kognisi yang merupakan pengetahuan
yang dimanfaatkan manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dan
keteraturan agar manusia lebih mengenal lingkungannya, dan (4) sinmbol ekspresi
berupa pengungkapan perasaan. Hampir seluruh simbol tersebut bersifat Share
values, yaitu disepakati bersama serta memiliki fungsi integratif untuk
mempertahankan sosial dan memelihara kebersamaan dalam masyarakat, atau
sebaliknya sesuatu yang dapat mewujudkan disintegratif.
Dalam kaitannya dengan
penelitian ini, teori interaksional simbolik akan digunakan untuk memahami bahasa
dan sastra Bali dalam kegiatan mabebasan.
2.3.3
Teori
Fungsi
Teori Fungsi yang dikemukakan oleh Malinowski dalam
Sutariani (2003:13), yang mengatakan bahwa segala aktivitas kebudayaan itu
sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri
mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupan. Kesenian sebagai
salah satu contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula
manusia ingin memuaskan kebutuhan naluri dan keindahan (Koentjaraningrat,
1980:171). Malinowski menegaskan kembali bahwa fungsionalis adalah gagasan
bahwa masyarakat dilihat sebagai suatu totalitas fungsional, seluruh adat kebiasaan
dan praktek harus dipahami dalam totalitas konteksnya dan dijelaskan dengan
melihat fungsinya bagi anggota masyarakat.
Teori fungsi digunakan
karena dianggap relevan untuk mengetahui kontribusi dari sekaa santi terhadap pelestarian bahasa
dan sastra Bali. Teori ini dipergunakan untuk membahas permasalahan yang ke
tiga yaitu kontribusi sekaa santi
dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali di Desa Sangkan Buana-Klungkung.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian mempunyai
peranan yang sangat penting dalam menyusun karangan ilmiah atau dalam
penelitian, karena keberadaannya mempengaruhi nilai ilmiah yang dihasilkan oleh
peneliti, sebab dalam pengumpulan data, menganalisis data, dan di dalam
pengambilan suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian yang dilaksanakan, dapat
digunakan untuk menjawab permasalahan yang timbul. Nawawi (1993:6) untuk
mencapai tujuan yang diinginkan dalam penelitian agar mendapatkan hasil yang
lebih baik, maka digunakannlah beberapa cara atau tehnik yang dikenal dengan
metode. Yang dimaksud dengan metode adalah, cara yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan, oleh karena tujuan penelitian adalah untuk memecakan masalah.
Maka langkah-langkah yang ditempuh harus relevan dengan masalah yang
dirumuskan.
3.1.
Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini
mengambil lokasi di kelompok sekaa santi
Dharma Yajna di Desa Sangkan Buana,
kecamatan Klungkung, kabupaten Klungkung Adapun jumlah dari sekaa santi
tersebut sebanyak 13 orang laki-laki. Tempat latihan dilaksanakan di rumah
anggota sekaa santi secara
bergiliran, yang diadakan dua kali dalam 1 (satu) bulan pada hari jumat minggu
ke 2 (dua). Latihan diadakan pada malam hari mulai dari jam 8 hingga jam 11
malam.
3.2
jenis dan pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pedekatan kualitatif. Moleong (1993:4) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif
melakukan penelitian pada latar alamiah atau kontek dari suatu sentuhan (entity). Lebih lanjut Salim (2001:5) menyatakan
bahwa penelitian kulitatif bekerja pada
seting yang alami, yang berupaya untuk memahami, memberi tafsiran pada fenomena
yang dilihat dari arti yang diberikan orang-orang padanya.
Mustafa (dalam Alwasilah, 2005 : 25) dalam bidang
pendidikan kualitatif bisa menelaah berbagai bentuk dan dilaksanakan dalam
berbagai latar. Oleh karena itu rancangan yang digunakan bersifat fleksibel dan sementara, karena akan selalu
disempurnakan dan disesuaikan secara terus-menerus dengan kenyataan yang ada di
lapangan. Sarwono ( 2006 : 199 ) menegaskan penelitian kualitatif bersifat
fleksibel dan berubah-ubah sesuai dengan kondisi lapangan tidak seperti desain
kuantitatif yang bersifat tetap, baku, dan tidak berubah-ubah.
Nawawi (dalam Nurjanah dkk, 2000:22) menyatakan bahwa
penelitian deskriptif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) memusatkan
perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang)
atau masalah yang bersifat aktual, 2) Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah
yang diselidiki sebagai mana adanya, diiringi interpretasi yang rasional.
Masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masalah tentang kontribusi
sekaa santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali di Desa Sangkan
Buana Klungkung, akan digambarkan apa adanya, disertai komentar-komentar yang
bersifat rasional.
Berdasarkan pendapat diatas, maka penelitian yang
dilaksanakan ini adalah jenis penelitian kualitatif Fenomenologis yang
bertujuan untuk mendeskripsikan kontribusi sekaa
santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali. Hal ini bertolak dari
pengamatan fenomena awal yang ditemukan bahwa bahasa dan sastra Bali sudah
semakin mendekati kelangkaan di kalangan masyarakat Bali, terbukti dengan sudah
semakin jarangnya penggunaan bahasa Bali dalam pergaulan terutama pada generasi
muda.
3.3 Jenis
dan Sumber Data
Dalam suatu penelitian selalu terjadi proses pengumpulan
data. Dalam proses pengumpulan data tersebut akan menggunakan satu atau
beberapa metode. Jenis metode yang dipilih dan digunakan dalam pengumpulan
datatentunya haru ssesuai dengan sifat atau karakteristik penelitian yang
dilakukan. Pengumpulan data dalam penelitian harus mendapatkan bahan atau
sumber yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Untuk memperoleh
data, sumber data sangatlah penting. Data dapat dibedakan menjadi dua bagian
yaitu:
3.3.1
Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung di lapangan oleh orang yang memerlukan penelitian atau yang
bersangkutan yang memerlukan. Jadi data yang bersifat primer terkait dengan
penelitian ini adalah data yang diambil dari sumber pertama yang diperoleh dari
informan yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pesantian seperti anggota sekaa
santi.
3.3.2
Data skunder
Data yang diperoleh dari sumber kedua. Data ini diperoleh
dari sumber berupa dokumen, hasil penelitian, artikel, lontar, serta sumber
pustaka yang berkaitan dengan obyek penelitian.
3.4 Subjek dan Objek Penelitian
Dalam suatu penelitian terlebih dahulu ditentukan subjek
penelitian. Subjek penelitian adalah sumber
utama data pada penelitian yaitu
yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti ( Azwar,
2005 : 34 ).
Adapun subjek yang diteliti yaitu para anggota sekaa santi Dharma Yadnya di Desa
Sangkan Buana Kecamatan Klungkung. Dengan dasar pertimbangan untuk mengetahui
kontribusi sekaa santi dalam upaya
pelestarian bahasa dan sastra Bali di Desa Sangkan Buana-Klungkung, dengan cara
meneliti kegiatan Pesantian yang
dilakukan, bahasa yang digunakan ketika mabebasan
dan sastra Bali yang dibahas dalam kelompok sekaa
santi Dharma Yajna di Desa Sangkan Buana, kecamatan Klungkung, kabupaten
Klungkung
Dalam penelitian ini kreteria pemilihan objek adalah
tingkat masalah-masalah yang ingin diteliti. Adapun masalah-masalah yang
diteliti yaitu, bagaimanakah bahasa dan
sastra Bali dalam kegiatan mabebasan,
bagaimanakah bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan pesantian dan bagaimanakah kontribusi Sekaa Santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali di Desa
Sangkan Buana- Klungkung.
3.5 Teknik Penentuan Informan
Informan dalam penelitian ini ditunjuk dan ditetapkan
secara purposive sampling dan snowball sampling. Margono (1985 : 74) dinyatakan
bahwa teknik purpocive sampling adalah cara pengambilan sampel berdasarkan
kepada ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
Nawawi (1983: 112) di nyatakan bahwa teknik purposive
sampling adalah cara pengambilan sampel berdasarkan kepada ciri-ciri atau sifat
populasi yang telah di ketahuii sebelumnya, serta di ambil secara sembarangan
tetapi dengan memberikan kesempatan kepada seluruh objek penlitian untuk dipilih.
Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan
pertimbangan dan tujuan tertentu dari peneliti. Snowball sampling adalah teknik
pengambilan sumber data di lakukan secara berantai dari sampel responden satu
ke responden yang lain. Hal ini dilakukan sampai sumber data dianggap cukup
(Sugiyono, 2005 : 53-54).
Penggunaan teknik purposive
sampling dalam penelitian berdasarkan kepada pengetahuan tentang ciri-ciri
tertentu yang didapat dari populasi yang dikenal sebelumnya. Berdasarkan ciri
tersebut kemudian peneliti memilih kelompok-kelompok tertentu sebagai inti atau
kunci dalam sampel untuk memperoleh data dalam penelitian ini. Snowball
sampling dilakukan dengan menentukan informan kunci terlebih dahulu sedangkan
informan selanjutnya ditentukan kemudian. Hal ini dilakukan sampai data yang
diperoleh dianggap cukup.
Dalam penelitan ini yang ditetapkan sebagai informan
adalah para sekaa santi, ditetapkan
sebagai informan kunci sebanyak satu orang.
3.6 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling
utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan
data. Tanpa mengetahui metode pengumpulan data, maka peneliti tidak akan
mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Dalam pengertian
yang lebih luas metode adalah cara-cara, strategi untuk memahami realitas,
langkah-langkah yang sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat
berikutnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa metode berfungsi untuk menyederhanakan
masalah, sehingga lebih mudah untuk dipahami dan dipecahkan ( Ratna, 2004 : 34
). Dalam penelitian Ilmiah metode mutlak diperlukan, karena metode merupakan
suatu upaya untuk mengadakan suatu pendekatan terhadap suatu masalah untuk
mewujudkan hasil yang sempurna. Sehubungan dengan upaya ilmiah, metode
menyangkut cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan (Jendra, 1981 : 20).
Berdasarkan batasan diatas, maka dapat disimpulkan metode
adalah cara kerja, strategi, langkah-langkah sistematis yang berfungsi untuk
menyederhanakan masalah, memahami objek yang menjadi sasaran sehingga lebih
mudah untuk dipecahkan untuk mewujudkan hasil yang sempurna. Adapun metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.6.1
Metode Observasi
Hadi dalam sugiono
(2010:203) mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses yang kompleks,
suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua
diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Dalam
melakukan observasi, peneliti hanya melakukan pengamatan atas segala tingkah
laku responden dengan menggunakan panca indera dan kemudian mencatat hasilnya.
Berdasarkan batasan
diatas maka dapat disimpulkan observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara
sengaja dan sistematis dengan memusatkan perhatian terhadap suatu objek dengan
menggunakan seluruh alat indera mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala
psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Untuk membantu dalam usaha
pencapaian tujuan dari penelitian ini, maka dalam metode observasi akan
digunakan teknik observasi partisipan atau berperan serta.
Observasi
partisipan adalah suatu bentuk observasi khusus dimana peneliti tidak hanya
menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil berbagai peran dalam
situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan
diteliti. Menurut Sugiono (2010:204) dalam observasi partisipan, peneliti
terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang
digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti
ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data dan ikut merasakan suka
dukanya. Dengan observasi partisipan ini maka data yang diperoleh akan lebih
lengkap, tajam dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap prilaku
yang nampak. Peluang yang paling besar
adalah berkenaan dengan kemampuan peneliti untuk mendapatkan akses terhadap
peristiwa-peristiwa atau kelompok-kelompok yang tidak mungkin bisa sampai pada
penelitian yang ilmiah. Dengan kata lain untuk beberapa topik, barangkali tidak
ada cara lain untuk mengumpulkan data tanpa melalui observasi partisipan. Jadi,
dengan berpartisipasi atau berperan serta dalam pengamatan adalah cara untuk
mengamati lebih dalam atau penghayatan yang mendalam, agar memperoleh data yang
sebenarnya.
Dalam observasi
partisipan peneliti dapat berperan ganda, karena dapat terlibat langsung dengan
objek penelitian yang diteliti sehingga peneliti dapat lebih leluasa (enjoy) dan lebih akrab dengan subjek yang
diteliti serta memungkinkan bertanya secara lebih teliti, lebih rinci dan lebih
detail. Adapun aspek-aspek yang diamati adalah lingkungan berlangsungnya
kegiatan Sekaa Santi. Dalam
pengamatan yang dilakukan tidak saja dilakukan pengamatan terhadap perilaku
yang tampak, akan tetapi juga tentang aspek bahasa dan sastra Bali yang
digunakan dalam pesantian tersebut.
Peneliti dalam terlibat secara langsung didalamnya. Dilakukan dengan cara
pencatatan dan perekaman dengan tape recorder, untuk menghindari data yang
hilang. Catatan lapangan adalah catatan
yang dibuat sendiri oleh peneliti pada saat peneliti mengadakan pengamatan,
wawancara atau pada saat peneliti menyaksikan suatu kejadian atau peristiwa
tertentu. Catatan-catatan tersebut bisa dibuat dalam bentuk kata-kata kunci,
singkatan, pokok-pokok utama, yang selanjutnya akan disempurnakan oleh peneliti
kemudian.
3.6.2
Metode Wawancara
Wawancara adalah
proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawabsambil bertatap muka antara sipenanya atau pewawancara dengan si penjawab
atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara) (Nazir, 1988:234). Menurut Syamsul, (2006:66) Wawancara dikatakan sebuah
interaksi secara langsung antara peneliti dengan responden. Dengan melakukan
wawancara peneliti akan dapat menangkap bahasa isyarat yang diberikan oleh
responden, tidak hanya sekedar yang dijawab atas pertanyaan, namun juga
keakuratan dari jawaban tersebut. Hadi
dalamSugiono (2010:194) mengemukakan
bahwa anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti untuk menggunakan metode
interview dan juga kuisioner(angket) adalah sebagai berikut:
1.
bahwa
subjek (responden) adalah orang yang paling tau tentang dirinya sendiri.
2.
bahwa
apa yang dinyatakan oleh subjek kepadapeneliti adalah benar dapat dipercaya
3.
bahwa
interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti
kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti.
Jadi, dengan
melakukan wawancara sebagai metode pengumpulan data maka peneliti dapat secara
langsung melihat psikologis responden dalam memberikan keterangan-keterangan.
Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengadakan komunikasi verbal semacam
percakapan, dengan melakukan tanya jawab yang bertujuan untuk memperoleh
informasi, kemudian melakukan pencatatan secara sistematis berdasarkan pada
tujuan penelitian.
Berdasarkan
pandangan-pandangan tersebut diatas maka dapat disimpulkan wawancara adalah
pengumpulan data dengan mengadakan komunikasi verbal bertatap muka langsung
dengan responden, dengan melakukan tanya jawab untuk mendapatkan informasi atau
keterangan kemudian melakukan pencatatan secara sistematis berdasarkan pada
tujuan penelitian.
3.7 Metode Analisis Data
Sugiyono (2010:335)
menyimpulkan beberapa pendapat para ilmuan bahwa analisis data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dfengan cara mengorganisasikan data
ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit melakukan sintesa, menyusun
ke dalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dipelajari, dan
membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Adapun metode yang
dilakukan untuk menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah
Metode Deskriftif Kualitatif. Metode deskriptif kualitatif adalah prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau
objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lai-lain) pada saat
sekarang yang masih tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1993:63). Metode
deskritif merupakan suatu cara mengolah data dengan jalan menyusunnya secara
sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan. Sedangkan kualitatif adalah
peneliti hanya melaporkan keadaan lokasi penelitian dan bukan mengubah atau
membuat fenomena baru dalam lokasi penelitian.
Dengan menggunakan
model analisis data seperti diatas, diharapkan untuk menghasilkan suatu
deskripsi yang akurat dan membumi atau terkait dengan fenomena yang ada di
lapangan. Dalam upaya analisis data
langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagiai berikut:
a.
Reduksi
Data
Reduksi Data adalah proses
pengubahan rekaman data kedalam pola, fokus, atau kategori permasalan tertentu.
Dimana data-data yang terkumpul lewat catatan-catatan yang didapat dilapangan
diresum dan diseleksi berdasarkan fokus dan pokok permasalahan. Kemudian
selanjutnya data yang relevan diharapkan telah tersusun dan teroganisir sesuai
dengan kebutuhan.
Data yang direduksi atau
dibuang adalah data yang tidak terkait dengan permasalahan yang ada dalam
penelitian yang dilaksanakan. Oleh karena data yang terkumpul dalam penelitian
kualitatif sangat banyak, sehingga kemungkinan ada data-data yang harus
dibuang. Nasution (1996:128) membuktikan bahwa data yang terkumpul dilapangan
dalam proses pengumpulan data merupakan laporan yang bersifat mentah yang patut
disusun, difokuskan pada hal-hal yang penting, disusun lebih sistematis, dan
dibuang apabila data itu tidak dibutuhkan dalam analisis data.
Data yang dijaring dalam
penelitian ini hanyalah data yang terfokus serta sesuai dengan tujuan
penelitian yang dilaksanakan. Oleh sebab itu, data-data yang terkumpul tetapi yang tidak terkait dengan tujuan
penelitian akan dibuang. Dalam usaha reduksi data ini dilakukan beberapa
kegiatan antara lain:
b.
Penyajian Data
Penyajian data adalah
menampilkan data dengan memasukkan data kedalam matrik yang diinginkan. Hal ini
dilakukan setelah proses reduksi data, selanjutnya data diolah lagi dengan
menyusun atau menyajikan kedalam matrik-matrik yang sesuai dengan keadaan data.
Matrik-matrik ini berfungsi: memilah data yang sudah direduksi, memudahkan
pengkontruksian data yang berguna untuk menuturkan, menyimpulkan, dan
menginterpretasikan data, memudahkan mengetahui cakupan data yang telah
terkumpul sehingga data yang masih dianggap kurang segera dapat dilengkapi
dengan cara mengumpulkan ulang dilapangan.
Data yang telah
direduksi selanjutnya disusun dan ditata dalam satuan peristiwa dan satuan
makna yang meliputi pendapat sekaa santi terhadap kontribusi sekaa santi dalam
upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali.
c.
Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah suatu upaya untuk mencari
kesimpulan atas data yang direduksi dan disajikan serta yang telah dianalisis.
Berdasarkan dari pengertian ini peneliti menarik kesimpulan sebagai jawaban
atas permasalahan peneliti yang diteliti.
BAB
IV
PENYAJIAN
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Objek
Penelitian
Letak geografis merupakan salah satu faktor
yang sangat mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari beberapa aspek, diantaranya; pola pikir
masyarakat, berbagai aktivitas yang
dilakukan dan juga tingkat kekerabatan yang tumbuh di daerah tersebut.
Keadaan geografis yang bagus juga mampu membuka kemungkinan-kemungkinan yang
luas yang dapat mengembangkan aktivitas-aktivitas yang ada pada manusia.
Mengetahui faktor geografis dalam pengaruhnya terhadap kehidupan
manusia setidaknya dapat mencari cara untuk mengatasi permasalahan
yang mungkin akan terjadi. Setiap daerah
tentu juga tidak akan bisa lepas dari permasalahan yang akan terjadi sebagai akibat
pengaruh keadaan geografis. Begitu juga dengan daerah Klungkung yang juga
merupakan salah satu daerah tujuan wisata dan dahulunya sempat menjadi daerah
pusat kerajaan di Bali tentu membawa dampak di masing-masing daerah. Mengetahui
keadaan ini tentunya tampak jelas ada perbedaan yang mencolok dilihat dari aktivitas-aktivitas masyarakatnya.
Kebiasaan-kebiasaan dan praktik sosialnya tampak akan berbeda di setiap wilayah
yang ada di kabupaten Klungkung.
Kabupaten Klungkung terletak di Pulau Bali
bagian timur, merupakan kota yang relatif kecil dibandingkan dengan kota yang
ada di propinsi Bali. Kabupaten Klungkung merupakan kabupaten yang luasnya
terkecil kedua setelah Kota Denpasar dari sembilan kabupaten yang ada di Bali.
Kabupaten Klungkung merupakan wilayah pesisir yang berdekatan dengan
pantai.
Ibu
kota kabupaten Klungkung bernama Semarapura dengan luas wilayah Kota klungkung
adalah 7 Km². Dalam sejarah Klungkung, pusat kerajaan berada di wilayah Gelgel,
dalam perkembangan selanjutnya, terlepas dari peristiwa sejarah, maka
selanjutnya ibu kota raja pindah ke Klungkung hingga saat ini dikenal dengan
nama Kota Semarapura.
Secara
Astronomi, Kabupaten klungkung terletak antara 115° 21’28” - 115° 37’ 43” Bujur
Timur (BT) dan 80 ° 27’ 37” - 80° 49’ 00” Lintang Selatan (LS), dengan
batas-batas wilayahnya sebagai berikut; sebelah utara Kabupaten Bangli, timur
Kabupaten Karangasem, sebelah selatan Samudera Hindia dan sebelah barat Kabupaten Gianyar dengan luas
wilayah 315 Km² (BPS, 2010:2).
Orbitasi
jarak dari provinsi Bali menuju kota Kabupaten Klungkung adalah 40 (empat
puluh) Kilometer dengan waktu tempuh sekitar 2 (dua) jam perjalanan. Akses jalan
menuju Kota Klungkung dapat ditempuh melalui beberapa jalur alternatif yakni
lewat jalan Batu Bulan – Gianyar – Klungkung, dan saat ini juga bisa
ditempuh melalui jalan By Pass Prof. Ida Bagus Mantra – By
Pass Kusamba. Orbitasi Jarak dari kota
Semarapura ke kota kecamatan di wilayah
Kabupaten Klungkung yaitu: dari kota Semarapura ke Kecamatan Banjarangkan yaitu 5,50 Km², Kota Semarapura ke Kecamatan Nusa Penida
berjarak 25 Km². dari Kota Semarapura ke Kecamatan Dawan berjarak 6,5 Km²
Daerah
Kabupaten Klungkung terdiri atas daerah
dataran membujur dari utara ke selatan, melintang dari barat ke timur, terdiri
atas kepulauan, meliputi: Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa ceningan dan Pulau Nusa
lembongan. Antara daerah dataran dengan daerah kepulauan dipisahkan oleh selat
Badung yang lebarnya ±18 Km².
Kabupaten
Klungkung memiliki luas 315,00 Km² merupakan
luas daerah terkecil di Pulau Bali sekitar 5,6 % dari Pulau Bali
yakni 5.621,3 Km². Apabila luasnya
dibandingkan dengan luas daerah dataran Kabupaten Klungkung, seluas 112,16Km² atau
hampir 2 % dari luas pulau Bali, sedangkan luas Kepulauan Nusa Penida 202,84 Km².
Dengan melihat luas daerah Kabupaten, juga dapat diidentifikasi bentangan wilayah pantai yang dimilikinya.
Kabupaten Klungkung memiliki panjang pantai
107 Kilometer (93,8 Kilometer di Klungkung kepulauan, dan 13,2 Kilometer di klungkung daratan). Keadaan ini sudah tentu
merupakan potensi yang sangat besar bagi kabupaten Klungkung terutama dapat
dilihat dari sektor krlautan, khususnya pada subsektor perikanan laut.
Klungkung nerupakan satu-satunya kabupaten di Bali yang memiliki wilayah kepulauan. Ini berarti
juga memiliki kawasan laut yang relatif panjang dan luas, secara ekonomi bila
ditata dan dikelola dengan baik tentunya akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Secara Geografis, Kota Semarapura Klungkung
dapat dilihat dari peta berikut:
Gambar 4.1 Peta Kota Semarapura Klungkung
Sumber: Bali
Tourism Map 2010
Secara umum Kabupaten Klungkung dibagi menjadi 4 kecamatan, yaitu:
a. Kecamatan
Klungkung
Kecamatan
Klungkung merupakan kecamatan terkecil dari 4 (empat) Kecamatan yang ada di
Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas disebelah Utara Kabupaten Karangasem,
sebelah Timur Kecamatan Dawan, sebelah Barat Kecamatan Banjarangkan dan sebelah
Selatan dengan Selat Badung, dengan luas 2.095, secara persis semua terletak di
daerah daratan pulau Bali.
Kecamatan Klungkung memiliki luah
wilayah 7 Km² dengan 40 Km dari ibu kota propinsi Bali dengan jumlah penduduk
55.057 jiwa.
b. Kecamatan
Banjarangkan
Kecamatan Banjarangkan memiliki luas 13
Km² dengan jarak 21 Km² dari ibu kota Propinsi Bali. Kecamatan
Banjarangkan merupakan Kecamatan yang terletak paling Barat dari 4 (empat)
Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas, sebelah Utara
Kabupaten Bangli, sebelah Timur Kecamatan Klungkung, sebelah Barat Kabupaten
Gianyar dan sebelah Selatan Selat Badung, dengan luas 45,73 Km ²
Secara
administrasi Kecamatan Banjarangkan terdiri dari 13 Desa, 55 dusun, 26 Desa
Adat, dengan jumlah penduduk 37.134 jiwa. Dalam usaha untuk memajukan
perekonomian di wilayah ini telah didukung dengan beberapa sarana seperti,
pasar umum, koperasi, KUD, dan bank, LPD yang dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk memajukan perekonomian desa.
c. Kecamatan
Dawan
Kecamatan Dawan memiliki luas wilayah 7 Km² dengan jarak 45 Km² dari
ibu kota propinsi Bali. Kecamatan Dawan merupakan Kecamatan yang
terletak paling Timur dari 4 (empat) Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung
dengan batas-batas, sebelah Utara dan Timur Kabupaten Karangasem, sebelah Barat
Kecamatan Klungkung dan sebelah Selatan Samudra Hindia dengan luas 37,38 Km ².
Menurut penggunaannya luas wilayah Kecamatan Dawan terdiri 16,21 % lahan sawah,
17,26 % lahan tegalan, 35,50 % lahan perkebunan, 6,93 % lahan pekarangan 0,21 %
kuburan dan lainnya 23,89 %.
d. Kecamatan
Nusa Penida
Kecamatan Nusa Penida memiliki luas
wilayah 22 Km² dengan jarak 74 Km dari ibu kota Propinsi Bali. Kecamatan
Nusa Penida terdiri dari tiga kepulauan yaitu pulau Nusa Penida, Pulau
Lembongan dan Pulau Ceningan, terdiri dari 16 Desa Dinas, dengan Jumlah
Penduduk 45. 178 Jiwa. Pulau Nusa Penida bisa ditempuh dari empat tempat yaitu
lewat Benoa dengan menumpang Quiksilver atau Balihai ditempuh +1 jam
perjalanan, melewati Sanur dengan
menumpang perahu jarak tempuh + 1,5 Jam perjalanan. Lewat Kusamba dengan
menumpang perahu jarak tempuh +1,5 jam perjalanan, sedangkan kalau lewat
Padangbai dengan menumpang Kapal Boat yang jarak tempuh + 1 jam
perjalanan.
Secara umum kondisi Topografi Nusa Penida tergolong landai sampai berbukit. Desa - desa pesisir di sepanjang pantai bagian utara berupa lahan datar dengan kemiringan 0 - 3 % dari ketinggian lahan 0 - 268 m dpl. Semakin ke selatan kemiringan lerengnya semakin bergelombang. Demikian juga pulau Lembongan bagian Utara merupakan lahan datar dengan kemiringan 0-3% dan dibagian Selatan kemiringannya 3-8 %. Sedangkan Pulau Ceningan mempunyai kemiringan lereng bervariasi antara 8-15% dan 15-30% dengan kondisi tanah bergelombang dan berbukit.
Secara umum kondisi Topografi Nusa Penida tergolong landai sampai berbukit. Desa - desa pesisir di sepanjang pantai bagian utara berupa lahan datar dengan kemiringan 0 - 3 % dari ketinggian lahan 0 - 268 m dpl. Semakin ke selatan kemiringan lerengnya semakin bergelombang. Demikian juga pulau Lembongan bagian Utara merupakan lahan datar dengan kemiringan 0-3% dan dibagian Selatan kemiringannya 3-8 %. Sedangkan Pulau Ceningan mempunyai kemiringan lereng bervariasi antara 8-15% dan 15-30% dengan kondisi tanah bergelombang dan berbukit.
Mata
pencaharian penduduk adalah pertanian dan sektor perikanan merupakan mata
pencaharian utama oleh 6,68% tersebar pada desa-desa pesisir yaitu Suana,
Batununggul, Kutampi Kaler, Ped dan Desa Toyapakeh. Di Pulau Lembongan 16,80%
penduduk bergerak dibidang perikanan, dan Ceningan 12,88% mengingat kondisi dan
topografi daerah maka yang cocok dikembangkan adalah Sektor Pertanian, dan
Sektor Pariwisata.
Kecamatan Nusa penida terdiri dari 16
desa/ kelurahan, 79 dusun/ lingkungan, 14 desa adat dan 165 banjar. Kecamatan
Banjarangkan terdiri dari 13 desa, 55
dusun, 26 desa adat, 70 banjar adat. Kecamatan
Klungkung terdiri atas 18 desa kelurahan, 59 dusun, 25 desa adat, 91 banjar.
Kecamatan Dawan terdiri atas 12 desa, 48
kelurahan, 48 dusun, 32 desa adat dan 65 banjar.
Kabupaten
Klungkung secara Morfologi dapat dilihat
bahwa kondisi daratannya dari posisi selatan ke utara, daerahnya semakin naik atau meninggi dan
berbukit-bukit, dengan ketinggian 100-500 meter di atas permukaan laut.
Sedangkan curah hujannya rata-rata 1.342
mm/tahun. Musim hujan berkisar antara
Oktober - April dan musim kemarau April - Oktober. Pada musin hujan, di
Klungkung berhembus angin barat, sedangkan pada musim panas berhembus angin
timur. Arah angin ke barat sekitar Desember –Maret, ke arah tenggara antara
April-Nopember. Kecepatan angin maksimum
16 knots/detik. Temperatur udara berkisar antara 24° C- 32° C (TP,
2002:12)
4.2
Bahasa dan Sasatra Bali Dalam Kegiatan Pesantian
4.2.1
Proses
Pesantian
Sesuai
hasil observasi, Pelaksanaan pesantian
Dharma Yajna di Desa Sangkan Buana,
kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung dilaksanakan dua kali dalam setiap bulan,
yaitu pada hari jumat minggu ke dua dan minggu ke empat. Pelaksanaan pesantian dimulai jam 20.00 s/d 23.00
atau dalam kegiatan yang bersifat khusus yang disepakati oleh kelompok sekaa santi. Tempat pelaksanaan pesantian yaitu di rumah anggota sekaa santi yang dilakukan secara
bergiliran. Anggota sekaa santi yang
mendapat giliran menjadi tuan rumah biasanya menyediakan sarana upakakara berupa
canang sari dan dupa, tuan rumah juga
menyediakan suguhan berupa minuman dan snak seadanya.
Setelah anggota sekaa
santi berkumpul sesuai waktu dan tempat yang telah disepakati maka pesantian akan segera dimulai. Anggota sekaa santi biasanya duduk melingkar,
sehingga mereka bisa saling berinteraksi antara anggota yang satu dengan
anggota yang lainnya. Di tengah-tengah lingkaran diletakkan dulang yang diisi
sarana upakara berupa canang dan dupa. Dulang tersebut juga digunakan untuk menaruh lontar, buku, atau pustaka suci lainya yang
akan dikupas dalam pesantian. Sebelum
pesantian dimulai, pertama dilakukan sembahyang bersama sebagai wujud rasa bhakti dan untuk memohon restu dari Ida Sanghyang Widhi Wasa agar diberikan
keselamatan. ketua sekaa santi atau pemangku biasanya bertugas menghaturkan canang yang telah
disediakan oleh anggota sekaa santi
yang menjadi tuan rumah saat itu. Setelah itu kelihan sekaa santi membagikan tirta
wangsuhpada dan bija sebagai
wujud anugrah Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Gambar 02. Ketua sekaa
santi menghaturkan canang untuk
memohon keselamatan.
Kemudian kelihan sekaa santi membuka pertemuan
itu dengan menghaturkan salam pangenjali
umat “Om Swastiastu” yang artinyaOm
Hyang Widhi semoga semua dalam keadaan selamat. Dan dilanjutkan dengan panyembrama atau sambutan dari ketua sekaa santi yang intinya mengucapkan
rasa terimakasih pada Ida Sanghyang Widhi
Wasa atas karunianya. Terimakasih juga disampaikan kepada tuan rumah atas
tempat dan suguhan yang telah disediakan, dan kepada seluruh anggota sekaa santi yang sudah meluangkan
waktunya untuk mengikuti kegiatan pesantian
tersebut. Setelah diarahkan oleh kelihan sekaa santi sebagai acara selanjutnya yaitu pembacaan sloka dan palawakia yang diambil dari naskah suci Sarasamuscaya atau Bhagawad
Gita. Pembacaan sloka ini
dilakukan oleh dua orang anggota sekaa
santi yang dianggap mampu untuk membaca sloka.
Ada yang bertugas sebagai pangwacen
(pembaca) dan yang lainnya sebagai peneges
(penerjemah). Isi sloka dan palawakia ini diterjemahkan ke dalam
bahasa Bali sedemikian rupa sehingga sangat menarik untuk dinikmati oleh para
pendengarnya. Setelah pembacaan sloka,
kemudian ketua sekaa santi membuka dharmatula yaitu semacam diskusi untuk
membahas ulang isi dari kutipan sloka
yang telah dibacakan.
Setelah selesai pembacaan sloka barulah kemudian
pembacaan atau penembangan naskah-naskah sastra Bali yang berupa sekar agung (wirama), sekar alit (geguritan atau pupuh) dan sekar madia
(kekidungan). Kegiatan menembangkan puisi-puisi ini juga diterjemahkan oleh
seorang peneges. Kegiatan ini
biasanya disebut dengan negesin atau mabebasan. Setelah semua anggota sekaa santi mendapat giliran dan masih
ada sisa waktu yang mencukupi maka ketua sekaa
santi memberikan kesempatan lagi kepada beberapa annggota sekaa santi untuk menembangkan beberapa
buah lagu. Biasanya diakhir acara disediakan waktu kurang lebih 15 menit untuk
membahas keuangan dan pelaksanaan kegiatan sekaa
santi kedepannya. Setelah diskusi selesai, maka ketua sekaa santi menutup kegiatan pesantian
dengan parama santi, dan acara
selanjutnya adalah acara bebas.
Gambar 03. Salah seorang anggota sekaa santi menembangkan sebuah sloka.
4.2.2 Bahasa Pengantar Dalam
Kegiatan Pesantian
Berdasarkan
dimensi sosial, bahasa Bali mengenal adanya sistem sor singgih basa atau tingkat tutur bahasa Bali yang erat kaitanya
dengan sejarah perkembangan masyarakat Bali yang mengenal sistem wangsa (garis keturunan atau klen)
menurut stratifikasi masyarakat Bali tradisional dan warna (profesi) dalam
stratifikasi masyarakat Bali modern. Dalam tataran wangsa membedakan masyarakat Bali
ke dalam klen brahmana, ksatria, wesia (tri wangsa) dan klen jaba (catur wangsa). Sementara itu dari sudut warna (profesi) pemakaian
bahasa Bali yang bertingkat-tingkat juga mengalami perubahan, yaitu lebih
melihat kedudukan masyarakat dalam fungsi-fungsi sosial di masyarakatnya
(Suardiana, 2009:2) Berdasarkan strata sosial ini, bahasa Bali menyajikan
sejarah tersendiri tentang tingkat tutur kata dalam pelapisan masyarakat tradisional
di Bali. Hal itu bisa kita lihat misalnya ketika kita ingin menyampaikan sebuah
kalimat “mai dini negak” yang artinya
“mari di sini duduk”, akan berbeda penyampaiannya ketika kita menghadapi
stratifikasi sosial itu. Jika berhadapan dengan wangsa yang lebih tinggi maka
kalimat tersebut akan berubah menjadi “ngiring
iriki malinggih” begitu pula ketika berhadapan dengan orang yang memiliki
kedudukan (warna) dalam masyarakat.
Stratifikasi sosial juga berpengaruh ketika pelaksanaan
kegiatan pesantian Dharma Yajna di Desa
Sangkan Buana Sesuai hasil observasi, bahasa yang digunakan sebagai bahasa
pengantar ketika kegiatan pesantian
dilaksanakan adalah bahasa Bali, yang tidak terlepas dari sor singgih basa Balinya. Hal ini terlihat ketika kegiatan pesantian belum dimulai. Ada sebuah
kegiatan bebincang-bincang antara anggota yang satu dengan yang lainnya yang
tentunya perbincangannya masih diluar kegiatan pesantian, walaupun ada beberapa yang mulai menginjak perbincangan
tentang kegiatan pesantian. Bahasa
komunikasi mereka ketika itu jarang yang terlepas dari bahasa Bali, dimana
bahasa Bali yang digunakan yaitu bahasa Bali alus madia, yang diselingi dengan bahasa Bali alus singgih, karena anggota sekaa
santi yang berasal dari berbagai golongan. Rasa saling menghormati anatara
anggota satu dengan yang lainnya masih sangat kental. Kemudian ketika acara
telah dibuka dan ketua sekaa santi
memberikan panyembama, disana terjadi
penggunaan bahasa Bali alus singgih,
karena bahasa Bali yang digunakan pada acara formal harus menggunakan bahasa
Bali alus singgih. Mengingat anggota sekaa santi berasal dari berbagai
golongan, maka ketua sekaa santi
maupun anggota sekaa santi akan
menyampaikan maksud dan tujuan dengan bahasa Bali alus singgih. (budha Gautama, 2006:25) menyatakan bahwa bahasa Bali
alus singgih digunakan pada saat
berbicara dengan orang banyak seperti paruman
Desa, pakraman kluarga, paruman sekaa, dan yang lainnya. Karena ketika kita
berbicara dengan orang banyak, kita akan menghadapi orang yang heterogen, yang
berasal dari berbagai golongan. Itulah yang menjadi dasar etika berbicara
dengan orang banyak harus menggunakan bahasa bali alus singgih. Selain itu bahasa Bali yang digunakan oleh masyarakat
Bali akan lebih halus jika pembicaraannya semakin formal. Suarjana (2008:19)
menyatakan bahwa makin formal pembicaraan yang terjadi dalam keluarga itu,
makin tinggi pula intensitas pemakaian bahasa Balinya. Itu berarti pembicaraan
ke arah yang lebih formal akan memperlihatkan penggunaan bahasa Bali yang
intensitasnya lebih tinggi, yaitu bahasa Bali alus.
4.3
Bahasa dan Sastra Bali dalam kegiatan Mabebasan
Kesusastraan Bali menurut jamannya dibedakan menjadi dua bagian yaitu
kesusastraan Bali purwa dan kesusastraan Bali anyar. Kesusastraan
Bali purwa, menurut bentuknya juga dibedakan menjadi dua yaitu kesusastraan puisi dan kesusastraan Gancaran. Kesusastraan Bali purwa yang berbentuk
puisi (tembang) dibedakan lagi
menjadi 4 (empat) bagian yaitu, sekar
rare, sekar alit (pupuh), sekar madia (kidung) dan sekar agung (wirama/kekawin).
Puisi-puisi ini dibuat oleh para pengawi
besar sedemikian rupa sehingga di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur
kehidupan yang dapat kita jadikan sebagai pedoman untuk mengarungi hidup ini.
Seperti misalnya dalam bait sarasamuscaya (sloka 11.19) berikut ini:
Apan
iking dadi wwang, uttama juga ya, nimitaning mangkana, wenang ya tumulung
awaknya sakeng sangsara, makasadanang subha karma, hinganing kottamaning dadi
wwang ika.
Terjemahannya
dalam bahasa Bali:
Duaning dados manusa puniki, pinih lewih kawiyaktianipun,
mawinan sapunika, mrasidayang ipun manyundangin deweknya saking kaduhkitan,
nganggen piranti solahe sane rahayu, maka pamekas kautaman sang dumadi,
manusane punika. (Menaka,
2002:21)
Terjemahan
dalam bahasa Indonesia:
Karena dilahirkan
menjadi manusia itu, sungguh sangat utama sekali, karena bisa menolong dirinya
dari kesengsaraan, dengan prilaku atau perbuatan yang baik yang disebut dengan
subha karma, begitulah keutamaan menjadi seorang manusia.
Dari kutipan tersebut kita dapat mengambil nilai kehidupan
yang amat luhur. Dimana kita sangat mulia dilahirkan sebagai manusia, karena
dengan lahirnya kita sebagai manusia, kita dapat memperbaiki kualitas kehidupan
kita, sebab kita diberikan kelebihan dibanding dengan mahluk lain yaitu tri
premana (sabda, bayu dan idep). Dengan idep ini kita bisa berpikir dan
mengetahui mana perbuatan baik dan mana perbuatan kurang baik.
Nilai-nilai tersebut tidak akan bisa kita ambil jika kita
tidak memahami apa isinya. Salah satu cara untuk bisa memahami isi naskah-naskah
suci tersebut adalah dengan kegiatan mabebasan.
Kegiatan mabebasan adalah kegiatan
penerjemahan puisi bali tradisional (tembang)
ke dalam bentuk bahasa Bali yang lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat
bali pada umumnya. Nida dan Taber dalam (Widyamartaya,
1989:11) memuat definisi penerjemahan sebagai berikut: translating consists in reproducing in the receptor language the
closest natural equivalent of the source
language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style.
Yang artinya: menerjemahkan merupakan kegiatan menghasilkan kembali di dalam
bahasa penerima barang yang secara sedekat-dekatnya dan sewajarnya sepadan
dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua
menyangkut gayanya. Dari definisi tersebut dapat dipetik bahwa penerjemahan
adalah proses pemindahan sebuah makna yang terkandung dalam bahasa sumber ke
dalam bahasa sasaran dengan menggunakan bahasa yang menyesuaikan dengan bahasa sasaran.
Di dalam kegiatan mabebasan terjadi
sebuah pemindahan makna yang terkandung dalam sebuah puisi yang menggunakan
bahasa puisi ke dalam bahasa peneges
yaitu bahasa Bali.
Gambar
04. Salah seorang anggota Sekaa santi sedang
menembangkan sebuah pupuh dan di terjemahkan oleh anggota yang lainnya.
Istilah
mabebasan secara morfologis dibentuk
dari kata ”basa” yang dalam bahasa
Jawa Kuna berarti bahasa (Zoetmulder dalam Sedyawati, 2001:483), kemudian
mendapat dwipurwa dan akhiran –n sehingga menjadi bebasan yang berarti prihal berbahasa atau cara mengartikan bahasa.
Bentuk ini kemudian mendapat awalan ma- sehingga
menjadi bentuk mabebasan, sehingga
secara leksikal kata ini berarti manyanyikan lagu yang berupa kekawin, pupuh, maupun kidung yang disertai dengan
penerjemahan (Warna dalam Sedyawati, 2001:483). Jadi mabebasan adalah kegiatan menerjemahkan sebuah teks sastra yang
berupa kekawin, pupuh maupun kidung ke dalam bahasa Bali.
Bahasa
yang digunakan dalam teks sastra yang berupa tembang ini biasanya menggunakan
bahasa Bali (dalam geguritan), bahasa jawa kuna (dalam
kidung atau kekawin), bahasa kawi (dalam
kekawin dan Palawakia), dan ada juga yang menggunakan bahasa sanskerta (dalam sloka). Hasil wawancara dengan Arnata (17 April 2011) sebagai
berikut:
Bahasa
yang digunakan dalam geguritan itu,
masih banyak yang harus dikupas, karena bahasanya masih makulit atau terbungkus oleh paribasa
Bali. inilah salah satu fungsi mabebasan, dimana tujuannya agar
pendengar dapat memahami isi dari naskah-naskah yang sebelumnya masih
terbungkus.
Itu
berarti walaupun dalam bentuk bahasa Bali namun masih cukup sulit untuk
dimengerti oleh masyarakat Bali pada umumnya, karena bahasa Bali yang digunakan
masih mengandung bahasa kiasan berupa paribasa, basa basita, dasa nama, yang
mungkin tidak banyak dimengerti oleh masyarakat Bali
pada umumnya. Oleh karena itu
teks sastra tersebut harus dikupas, tentunya dalam kegiatan mabebasan. Seperti misalnya teks sastra
Bali yang diambil dari geguritan Maya
denawa, dengan pupuh sinom (Suprapta,
2004:20-21) sebagai berikut:
1.
Niki yajna sane iwang, nangun yajna mapi-mapi, raga sugih
mapi tiwas, raris nangun yajna alit, mangda nelasang akedik, sane lacur mapi
wibuh, ne alit kemat katurang, raris nangun yajna luwih, yajna puput, ngadol
carik garang utang.
Teges:
Inggih
kacritayang titiang sane mangkin indik yajna sane nenten kapatutang, yening
wenten anak nagun yajna ulian mapi-mapi, yening ipun sugih mapi tiwas ritatkala
mayajna, raris ipun makarya yajna sane alit, tatujone mangda nelasang prabeya
akidik, sane matungkas malih wenten anak lacur mapi sugih, anake kadi asapunika
kemad nangun yajna sane alit, raris ipun nuutin anak sane sugih makarya yajna
ageng, rikala yajna punika puput, raris ipun garang utang tur nyantos ipun
ngadep warisan.
2.
Driki kucap Bali Dwipa, jagat kadasarin wali, punika maka
bisama Rsi Markandia duk riin, daweg Ida nangun wali, ne marupa panca datu,
ngawinang jagate kerta, ne katami jantos mangkin, ngudiang ngagu, manungkasin
drestan jagat.
Teges:
Iriki kucap jagat Bali punika, saantukan jagat Bali
kadasarin antuk wali, asapunika bisama sane pinih mabuat pisan, nika wantah
bisama sang rsi markandia duk ida rauh ring Bali, ida ngruntuhang bisama punika
daweg nangun wali duk riin, wali sane kawangun punika tan ja wenten tios mendem
panca datu, nika sane mangawinang jagat Bali puniki gemuh landuh kerta raharja,
punika sane katami olih krama Baline nyantos mangkin, sane mangkin napi sane
ngawinang ida dane ngagu, sahasa purun nungkasin drestan jagat Bali saking
riin.
Dari terjemahan tersebut dapat kita lihat perubahan dari
bahasa kiasan dalam puisi Bali tradisional yang berupa pupuh sinom ke dalam bahasa Bali yang lebih mudah dipahami oleh
masyarakat. Arnata menambahkan tentang mabebasan
dalam wawancaranya (17 April 2011) sebagai berikut:
Agar pendengar tertarik untuk menikmati hasil terjemahan
itu, biasanya para peneges dalam mabebasan membumbui isi terjemahannya
dengan pengalaman-pengalaman hidup dari peneges
itu sendiri yang sesuai dengan isi teks, dan bahkan ada peneges yang mendramakan isi teks tersebut, sehingga terlihat
seperti lelampahan wayang yang cukup
menarik untuk dinikmati oleh pendengar.
Inilah menariknya didalam pesantian, tek-teks sastra itu diterjemahkan kedalam bentuk bahasa
Bali yang khas yang mudah dipahami dan dibuat menarik untuk dinikmati oleh
pendengar.
Peneges atau penerjemah yang sudah berpengalaman dalam mabebasan
di dalam pesantian sangat lihai dalam
menjiwai apa isi teks sastra yang diterjemahkan. Dalam menerjemahkan para
penerjemah dengan sikap duduk bersila, kemudian dibantu dengan gerak tangan,
tangan kiri memegang siku tangan kanan, kemudian jari-jari tangan kanan dikepal
kecuali jempolnya dilepas, kemudian ketika menerjemahkan digerakkan sesuai
keinginan sang penerjemah. Menggunakan tangan kanan ini adalah sebuah etika,
adalah sikap yang tidak sopan bila menunjukan sesuatu atau menerima sesuatu
atau memberikan sesuatu menggunakan tangan kiri kepada orang lain.
Dengan begitu nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks
sastra itu akan mudah diambil dan digunakan oleh anggota sekaa santi sebagai pegangan hidup. Disini juga terjadi
diskusi-diskusi kecil mengenai isi naskah yang mungkin kurang dipahami oleh
beberapa anggota sekaa santi.
4.4
Kontribusi sekaa santi dalam upaya pelestarian bahasa dan
sastra Bali
Alwi dalam (Sugono dan Zaidan, 2001:38) mengutip Pasal 36
UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia dengan
penjelasan: di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh
rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, sunda, Bali, dsb.)
bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara, bahasa-bahasa
itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Dari kutipan
tersebut terlihat bahwa bahasa Daerah adalah merupakan bagian dari kebudayaan
Indonesia maka dikaitkan lagi dengan isi Pasal 32 yang menyebutkan bahwa
pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Adapun penjelasan Pasal 32
adalah sebagai berikut: kebudayaan indonesia adalah kebudayaan yang timbul
sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama yang aslinya
yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
menuju ke arah keemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia.
Itu berarti bahasa daerah adalah bahasa yang harus tetap
dijaga dan dilestarikan karena merupakan bagian dari Budaya nasional indonesia.
Bahasa Bali sebagai bahasa daerah sampai sekarang ini masih aktif digunakan
oleh masyarakat Bali. Dan usaha-usaha untuk menjaga dan memelihara
kelestariannya telah dilakukan baik dari kalangan pemerintah maupun golongan
pemerhati bahasa Daerah Bali. Bahasa bali yang kita kenal sekarang ini masih
banyak kita jumpai pada pertemuan-pertemuan di kalangan masyarakat Bali.
Seperti misalnya paum (rapat anggota
desa atau Banjar), bahasa yang biasa digunakan adalah bahasa Bali.
Seperti penjelasan di atas, kegiatan sekaa santi juga tidak bisa terlepas dari penggunaan bahasa dan
sastra Bali. Karena pada hakekatnya kegiatan pesantian adalah proses pengupasan suatu nilai yang terkandung di
dalam sastra-sastra yang terdapat di Bali, baik yang berupa sastra Bali maupun sastra Jawa Kuna, dan dikupas ke dalam bentuk bahasa Bali, sehingga
masyarakat yang kurang mengerti dengan bahasa sastra atau bahasa kiasan dalam
puisi akan lebih memahaminya ketika ada kegiatan pengupasan sastra-sastra itu
dalam pesantian yang sering disebut mabebasan.
4.4.1
Sekaa Santi Sebagai Wadah Bahasa dan Sastra Bali
Sekaa
santi adalah tempat yang
sangat strategis dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali. Di dalam
kegiatan sekaa santi, bahasa Bali
akan tumbuh dengan subur. Ketika kita
masuk ke dalam kelompok sekaa santi
maka secara otomatis bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali.
Kegiatan sekaa
santi tidak hanya dilaksanakan pada tataran intern anggota sekaa santi saja. Pada saat ada upacara yajna di lingkungan Desa Sangkan
Buana, sekaa santi ini selalu berperan serta untuk mengiringi
kegiatan tersebut. Tentunya sekaa santi
dalam kegiatan tersebut akan sangat bermanfaat untuk perkembangan bahasa dan sastra
Bali. Kegiatan sekaa santi
(menembangkan kidung-kidung atau kekawin) merupakan pelengkap dalam upacara yajna. Arnata (dalam wawancara 17
April 2011) menyatakan bahwa:
salah satu tujuan pesantian
adalah untuk menunjang kegiatan-kegiatan yajna
yang dilakukan oleh masyarakat di lingkungan Buana Sari Desa Sangkan Buana-Klungkung.
Seperti dalam sastra disebutkan ada lima suara yang harus melengkapi ketika
membuat upacara yajna yang disebut
dengan panca gita, dan salah satunya
adalah Dharma Gita, yaitu
nyanyian-nyanyian suci keagamaan yang tiada lain adalah kidung-kidung atau kekawin
itu sendiri.
Itu berarti sekaa
santi mendapat peran yang sangat penting dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
Di samping itu dengan kegiatan sekaa
santi secara sengaja atau tidak sengaja sedikit demi sedikit telah
mengembangkan bahasa dan sastra Bali di tataran masyarakat umum, khususnya di Desa
Sangkan Buana, kecamatan Klungkung, kabupaten Klungkung Dalam hasil wawancara
dengan Suastika (18 April 2011) yang menyatakan bahwa:
masyarakat akan menjadi biasa mendengar dan bahkan
menggunakan bahasa Bali ketika kegiatan sekaa
santi ini sering kita laksanakan pada setiap kegiatan keagamaan. Karena
dengan kegiatan pesantian ini
tentunya akan menggunakan bahasa Bali baik bahasa pengantar maupun dalam mabebasan.
Yasa menambahkan (dalam wawancara 18 April 2011) sebagai
berikut:
Dalam setiap kegiatan keagamaan (panca yajna) yang tentunya sekaa
santi sebagai pelengkapnya, tentu kegiatan pesantian akan di konsumsi oleh banyak orang yang menghadiri
upacara tersebut. Hal itu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa
dan juga sastra Bali ke depan.
Dari hasil wawancara tersebut dapat kita lihat bahwa sekaa santi merupakan wadah yang sangat
subur untuk menumbuh kembangkan bahasa dan sastra Bali.
Gambar 05. Kegiatan pesantian dalam upacara Dewa Yajna yang disaksikan oleh seluruh
masyarakat yang hadir.
Sesuai hasil observasi, pada setiap kegiatan pesantian dimana dalam hal ini
mengiringi upacara-upacara yajna yang
dilaksanakan oleh masyarakat Desa Sangkan Buana-Klungkung, biasanya menggunakan
pengeras suara, hal itu bertujuan agar mampu didengar oleh banyaknya angota
masyarakat yang menghadiri upacara yajna,
yang tentunya akan terdengar oleh masyarakat yang berada cukup jauh dari lokasi
kegiatan. Sehingga kegiatan sekaa santi
ini dapat di nikmati oleh penduduk atau masyarakat yang tidak bisa hadir dalam
kegiatan tersebut. Hal itu menunjukan betapa strategisnya kelompok sekaa santi sebagai tempat atau wadah untuk melestarikan
bahasa dan sastra Bali.
4.4.2
Pesantian Sebagai perangsang Minat Masyarakat terhadap
Bahasa dan Sastra Bali
Bahasa akan dapat bertumbuh kembang dengan baik ketika
bahasa itu dengan aktif terus digunakan oleh masyarakat penggunanya. Begitu
juga dengan bahasa Bali. Berkembang atau tidak bahasa Bali dalam masyarakat
Bali akan ditentukan oleh masyarakat Bali sendiri, apakah masih digunakan dalam
pergaulan sehari-hari atau sudah mulai ditinggalkan dan beralih pada bahasa
yang lain. Salah satu cara yang epektif digunakan dalam merangsang masyarakat
adalah dengan membuat masyarakat sering menjumpai penggunaan bahasa Bali dan
sastra Bali. Ketika masyarakat mengetahui manfaat yang terkandung di dalamnya maka dengan sendirinya mereka akan
menggunakan bahasa dan sastra Bali. Sesuai hasil wawancara dengan Sentana (18
April 2011) yang menyatakan bahwa:
Ketika seseorang secara terus menerus mendengar dan
melihat penggunaan sebuah bahasa maka sedikit demi sedikit akan mampu memahami dan
menggunakan bahasa tersebut dalam berinteraksi.
Dari hasil wawancara tersebut dapat kita petik bahwa
dengan sering mendengar bahasa tertentu, maka sedikit demi sedikit seseorang
akan mampu memahami bahasa tersebut. Begitu juga dengan bahasa Bali, dengan
sering didengarkan dan digunakan, maka sedikit demi sedikit akan memahami dan
semakin terbiasa menggunakan bahasa Bali. Kegiatan tersebut dapat kita lakukan
dengan salah satu caranya yaitu melaksanakan kegiatan pesantian. Karena dalam
pesantian akan selalu membahas sastra Bali dan tentunya menggunakan Bahasa
Bali. Dalam kegiatan pesantian bahasa
Bali digunakan baik sebagai bahasa dalam berinteraksi antar anggota sekaa santi, sebagai bahasa pengantar
dalam kegiatan pesantian, maupun sebagai bahasa terjemahan dalam kegiatan mabebasan. Dengan mengikuti kegiatan
pesantian maka masyarakat akan sering menjumpai penggunaan bahasa dan sastra
Bali kemudian dengan sering menjumpainya mereka akan semakin mengenal kosa kata
bahasa Bali dan sedikit demi sedikit akan mulai menggunakan bahasa Bali.
4.4.3
Menggali Kosa Kata Bahasa Bali dalam Kegiatan Mabebasan
Kegiatan pesantian
yang dilakukan oleh kelompok sekaa santi
sangat bermanfaat dalam penggalian kosa kata baru dalam bahasa Bali. Dalam kegiatan
mabebasan, seorang peneges biaanya
memiliki kosa kata yang sangat banyak. Dan bahkan sering dalam kegiatan
mabebasan, mereka menemukan koa kata baru yang semakin memperkaya kosa kata
yang telah dimilikinya.esuai hasil wawancara dengan Parmanta (17 april 2011)
yang menyatakan bahwa:
Seorang peneges yang sudah berpengalaman biasanya sangat
kaya dengan paribasa Bali, dasa nama, dan juga kosa kata bahasa Bali, yang
membuat para peneges terlihat sangat menguasai isi sastra yang akan
ditejemahkan, dan hal itu dapat dilakukan dengan cara sering membaca dan yang
terpenting adalah sering latihan mabebasan.
Itu berarti seorang peneges adalah orang yang sangat kaya
dengan kosa kata bahasa Bali. Kosa kata yang dimiliki oleh seorang peneges
nantinya tidak hanya dinikmati oleh dirinya sendiri. Dalam proses mabebasan,
anggota sekaa santi dan juga masyarakat akan ikut menikmati kekayaan kosa kata
yang dimiliki oleh seorang peneges. Apalagi kegiatan pesantian ini disaksikan
oleh masyarakat banya. Tentunya kosa kata bahasa Bali akan terus tumbuh dan
berkembang. Di dalam kegiatan pesantian, utamanya pada aat dilaksanakan
latihan, biasanya seluruh anggota sekaa
santi dilatih untuk bia negein atau
mabebasan. Hal itu dilakukan dengan
tujuan ketika anggota sekaa santi yang biasanya negein tidak bisa menghadiri
kegiatan pesantian, maka anggota sekaa santi yang lain harus mampu
menggantikannya (hasil wawancara dengan Dewa Arnata, 17 April 2011)
Itu berarti anggota sekaa
santi secara otomatis harus memperkaya diri dengan kosa kata bahasa Bali.
Dan hal itu bisa dilakukan dengan latihan mabebasan secara tekun. Dengan
kegiatan mabebasan ini, kosa kata bahasa Bali akan terus berkemabang di
kalangan kelompok sekaa santi Dharma
Yajna pada khususnya dan di dalam masyarakat Desa Sangkan Buana dan
masyarakat bali pada imimnya.
4.4.4
Sastra Bali dalam Mabebasan
Teks-teks sastra yang ada di Bali, jenisnya sangat
beragam dan dalam jumlah yang lumayan banyak. Bisa dikatakan kita kaya dengan
sastra-sastra itu. Teks-tes sastra itu dapat kita temukan pada musium-musium
yang ada di Bali. Di musium Gedong kirtia misalnya, disana tersimpan banyak
sekali teks-teks sastra Bali. Teks-teks sastra itu ada yang tertulis
menggunakan aksara Bali dalam lontar,
dan ada juga teks sastra yang tertulis menggunakan aksara latin. Keberadaan
teks-teks sastra ini sudah seharusnya kita jaga dan pelihara, agar nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam sastra tersebut dapat kita jadikan sebagai pedoman
untuk hidup dalam pembentukan moral yang berbudi pekerti luhur. Dari beragam
jenis teks sastra yang ada dimusium-musium tersebut, adabanyak sastra-sastra
tersebut yang berbentuk puisi bali purwa, yaitu jenis kesusastraan Bali yang
berbentuk tembang-tembang seperti sekar
rare, sekar alit, sekar madia dan sekar agung. Itu berarti sekaa santi dapat ikut menjaga dan
memelihara sastra-sastra tersebut dengan mengupas sastra-sastra tersebut dalam
pesantian.
Kegiatan mabebasan
atau negesin dalam pesantian adalah kegiatan penerjemahan
teks-teks sastra baik yang menggunakan bahasa Bali, bahasa Kawi, bahasa Jawa
Kuna dan bahakan bahasa Sansekrta, yang dikupas ke dalam bentuk bahasa Bali.
Disamping untuk mencari dan mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam sastra
tersebut, kelompok sekaa santi ini
secara tidak disadari telah ikut menjaga dan memelihara sastra-sastra Bali
tersebut.dengan adanya kegiatan pesantian
ini, teks-teks sastra yang ada di pulau Bali ini akn terus terpelihara dengan
baik, dan tentunya akan dapat di ambil nilai-nilai yang terkandung didalamnya
dalam kegiatan mabebasan. Hal itu
akan merembet pada pembentukan moral yang berbudi luhur pada masyarakat Desa
Sangkan Buana pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya.
Sastra-sastra Bali yang ada di Bali yang berbentuk puisi
jenisnya sangat beragam. Sekar alit,
yang biasanya disebut pupuh, biasaya
digunakan untuk menuangkan sebuah cerita. Cerita atau satua yang dituangkan
dalam pupuh-pupuh ini biasanya
disebut dengan geguritan,. Secara
umum pupuh-pupuh ini berjumlah 10
buah. Masing-masing pupuh memiliki
aturan sendiri yang disebut dengan pada
lingsa. Padalingsa adalah
banyaknya suku kata dan vokal terakhir dari setiap baris dan banyaknya baris pada setiap bait, Gautama
(2007:33). Berikut pada lingsa dari
masing-masing pupuh tersebut:
Tabel 04. Daftar pupuh dan pada lingsa pupuh
No.
|
Nama pupuh
|
Pada lingsa
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
|
Pupuh
Sinom
Pupuh
Semarandana
Pupuh
Ginada
Pupuh
Ginanti
Pupuh
Mijil
Pupuh
Maskumambang
Pupuh
Dangdang
Pupuh
Durma
Pupuh
Pucung
Pupuh
pangkur
|
8a,
8i, 8a, 8i, 8i, 8u, 8a, 8i, 4u, 8a.
8i,
8a, 8e/o, 8a, 8u, 8a.
8a,
8i, 8a/o, 8u, 8a, 4i, 8a.
8u,
8i, 8a, 8i, 8a, 8i.
4u,
6i, 6o, 4e, 6e, 4u, 6i, 6i, 8/6o.
4a,
8i, 6a, 8i, 8a.
10i,
10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a.
12a,
7i, 6a, 7a, 8i, 5i, 7i.
4u,
8u, 6a, 7a, 5i, 7i.
8a, 4a, 8i, 8u, 4a, 8u, 8a, 8i.
|
Sekar
madia, yang sering disebut dengan istilah kidung atau kekidungan adalah jenis
puisi Bali purwa yang juga terikat oleh
uger-uger pada lingsa. Perbedaannya dengan sekar alit adalah penggunaan bahasanya yang menggunakan bahasa Jawa
tengahan atau bahasa Bali tengahan, (Gautama, 2007:47). Biasanya kekidungan ini
yang sering digunakan untuk mengiringi upacara panca yajna di samping kekawin
dan pupuh. Kekidungan ini
biasanya jarang diterjemahkan. Berikut adalah contoh sekar madia atau kidung yang
digunakan dalam mengiringi upacara Dewa
yajna:
Pupuh Bramara angisep Sari (Surada, 2006:1-2)
1.
Mogi tan kacakra bawa, Titiang ikatunan sami, Nista kaya
wak lan manah, Langgeng ngulati Hyang Widhi, Sang sukma maha acintya, Nirbana
siwa kasengguh, Singidan ring tampak aksi.
2.
Ong Ong sembah ninganata, dumadak jua kaaksi, munggwing
pangubaktin titiang, sareng sami ring Hyang widhi, Mogi asung wara nugraha,
karahajengan manerus, gemuh landuh kang negari
Sekar
Agung, atau sering
disebut wirama atau kekawin adalah
juga merupakan puisi Bali Purwa.
Bahasa yang digunakan dalam kekawin adalah bahasa Kawi. Kekawin kata dasarnya adalah ”kawi”
yang artinya karangan, mendapat reduplikasi (dwipurwa) dan akhiran n, sehingga menjadi kekawin yang artinya
aneka ragam hasil karangan (Gautama 2007:55). Uger-uger atau aturan yang mengikat kekawin yaitu, (1) wreta matra, banyaknya suku kata dan
letak guru lagu dalam setiap baris. (2) guru
lagu, dimana guru berarti suku
kata yang mendapat nada panjang atau berat, lagu
berarti suku kata yang mendapat suara atau nada pendek atau ringan. guru biasanya dilambangkan dengan tanda
(─) dan lagu dilambangkan dengan
tanda (U). Kekawin ini sangat banyak
terdapat di Pulau Bali ini. Jenis kekawin
yang sering digunakan oleh sekaa santi
Dharma Yajna yaitu, kekawin
Arjunawiwaha, kekawin Sutasoma, kekawin Ramayana, kekawin Aji Palayon, kakawin
Bhomantaka. Berikut contoh kekawin yang diambil dari keawin
Ramayana (Tim Penyusun, 1997:12)
1.
kawit sarat semaya kala nirar para ngka, nton tang
pradesa ri hawan nira kapwa ramya, kweh lwah magöng katemu de nira tirta dibya,
udyana len talaga nirjhara kapwa mahning.
2.
tunjung putih pwa ya ta tunjung abang sedeng rum, kumbang
nya ghurnita masabda humung sadarppa, len mandamaruta mirir yya suganda mambö,
sang Rama Laksamana rikang ksana tusta de nya.
Terjemahan dalam Bahasa Bali (Tim Penyusun, 1986: 13):
1.
nemonin sasih katiga ring kapatdewasane ida lunga marika,
Cingak iada punika pajajahane salantang pamargin idane ngulangunin,katah tukad
ageng-ageng panggihin ida taler genah matirtayatra sane utama, taman makamiwah
talaga ceburan toya makasami dahat ening.
2.
tunjung putih miwah tunjung barak sami mengpeng miyik,
tambulilingannyane pagriweng mabyayuhan maswara binal, tios malih angine banban
ngasirsir ipun maambu dahat miik, ida Sang Rama miwah Sang Laksmana ledang
antuk duk punikia.
Terjemahan dalam bahasa indonesia (Tim penyusun,
1997:13):
1.
Kebetulan
musim gugur beliau berangkat kesana, tampak desa-desa sepanjang jalan yang
dilaluinya semua indah, banyak sungai besar-besar dijumpai oleh beliau, pun
pula permandian yang mulia, taman-taman dan telaga, air terjun yang semuanya
jernih.
2.
Teratai putih, teratai merah sedang berbau harum.
Kumbangnya riuh bersuara mendengung bernafsu. Dan angin sepoi meniupnya
menghamburkan bau harum semerbak. Sang Rama, Laksamana waktu itu senang dibuatnya.
Dalam kelompok sekaa
santi semua jenis sastra puisi diatas dipelihara dengan baik dengan cara
menembangkangkan, mabebasan atau negesin (menerjemahkan)
dan kemudian mendiskusikannya (dharmatula).
Sehingga sastra-sastra itu akan dapat terpelihara dengan baik di dalam sekaa santi.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka
dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1.
Bahasa
dan sastra Bali dalam kegiatan pesantian
di Desa Sangkan Buana-Klungkung memiliki peranan yang sangat penting. Pada
setiap kegiatan pesantian anggota sekaa santi selalu menggunakan bahasa
Bali yang sesuai dengan sor singgih
bahasa Bali. Apalagi bahasa Bali yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam
melaksanakan kegiatan pesantian,
yaitu bahasa Bali alus singgih,
karena melihat anngota sekaa santi yang
heterogen, artinya anggota sekaa santi
berasal dari berbagai golongan. Di samping itu sastra Bali selalu menjadi
sumber utama sebagai acuan yang digunakan di dalam melaksanakan pesantian. Dimana sastra Bali yang
dimaksud adalah sastra Bali purwa
yang berbentuk puisi yaitu, sekar alit,
sekar madia da sekar agung.
2.
Bahasa
dan sastra Bali dalam kegiatan mabebasan
di Desa Sangkan Buana-Klungkung adalah suatu yang tidak dapat dipisahkan.
Karena dalam kegiatan mabebasan
terjadi proses penerjemahan dari karya sastra Bali purwa, baik berupa pupuh,
kidung, kekawin, sloka maupun
palawakia ke dalam bentuk bahasa Bali, tentunya bahasa Bali yang lebih
dapat dipahami oleh masyarakat Bali pada umumnya. Sehingga dengan pelaksanaan
penerjemahan atau mabebasan itu,
masyarakat akan lebih mudah untuk mengkonsumsi nilai-nilai yang terkandung di
dalam sebuah karya sastra Bali.
3.
Kontribusi
sekaa santi dalam upaya pelestarian
bahasa dan sastra bali di Desa Sangkan Buana-Klungkung yaitu, (1) sekaa santi merupakan wadah yang sangat
strategis untuk pemeliharaan bahasa dan sastra Bali. Karena dalam kegiatan pesantian, bahasa Bali selalu menjadi
alat yang digunakan untuk berkomunikasi baik berinteraksi antar anggota sekaa santi, sebagai bahasa pengantar
dalam pelaksanaan pesantian, maupun
sebagai bahasa dalam menerjemahkan isi sebuah karya sastra dalam mabebasan. Kemudian sastra Bali adalah
sumber acuan yang digunakan oleh sekaa
santi. Dan sastra-sastra inilah yang dibahas dalam kegiatan pesantian. (2) pesantian sebagai alat untuk merangsang masyarakat untuk
menggunakan bahasa dan satra Bali. Jika kegiatan pesantian ini sering dilaksanakan, apalagi disaksikan oleh
masyarakat, maka masyarakat akan terbiasa mendengar bahasa dan sastra Bali dan
kemudian sedikit demi sedikit akan berminat untuk memahami dan menggunakannya
dalam kehidupan sehari-hari. (3) menggali kosa kata bahasa Bali dalam mabebasan. Banyak kosa kata bahasa Bali
yang akan kita temukan dalam kegiatan mabebasan.
Karena di dalam mabebasan seorang
peneges akan selalu menggali kosa kata bahasa Bali agar dapat lebih sempurna
didalam memberikan terjemahan (mabebasan)
terhadap sebuah puisi. Sehingga seorang peneges
adalah orang yang sangat kaya dengan kosa kata bahasa Bali. (4) sastra bali
dalam kegiatan mabebasan adalah sumber acuan utama yang digunakan oleh kelompok
sekaa santi. Sastra-sastra itu akan
terpelihara dengan baik di dalam kelompok sekaa
santi ini.
5.2. Saran
Bahasa dan sastra Bali sebagai salah satu budaya Bali adalah
merupakan kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Namun budaya Bali,
khususnya bahasa dan Sastra Bali kini sudah mulai terkikis oleh pengaruh
globalisasi. Keberlangsungan perkembangan Budaya Bali sangat memerlukan
perhatian dari berbagai pihak di antaranya:
1. Diharapkan kepada Pengambil kebijakan agar
memperhatikan keberadaan sekaa santi
yang ada di Kabupaten Klungkung pada khususnya, karena keberadaan sekaa santi ini sangat mendukung
perkembangan bahasa dan sastra Bali.
2. Kepada masyarakat Desa Sangkan Buana, Kecamatan Klungkung,
Kabupaten Klungkung agar tetap menjaga dan melestarikan sekaa santi, karena sangat bermanfaat untuk kehidupan beragama
Hindu masyarakat Bali, khususnya masyarakat Desa Sangkan Buana Disamping itu
juga dengan mejaga dan melestarikan sekaa
santi, maka telah ikut membantu pemerintah untuk mejaga dan melestarikan
budaya bangsa.
3. Kepada generasi muda Bali diharapkan untuk tidak
meninggalkan budaya Bali khususnya bahasa dan sastra Bali. Karena generasi muda
merupakan ujung tombak yang seharusnya menjaga keberlangsungan budaya Bali.
4. Kepada para pemerhati bahasa dan sastra Bali,
diharapkan untuk melaksanakan penelitian dengan skup yang lebih luas guna
perkembangan bahasa dan sastra Bali ke depannya.