Rabu, 23 Mei 2012

PERANAN SEKAHA SANTI DALAM UPAYA PELESTARIAN BAHASA DAN SASTRA BALI DI DESA SANGKAN BUANA KLUNGKUNG


PERANAN SEKAHA SANTI DALAM UPAYA
PELESTARIAN BAHASA DAN SASTRA BALI
DI DESA SANGKAN BUANA KLUNGKUNG



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Pulau Bali yang begitu kental dengan adat dan budayanya adalah karya besar para leluhur terdahulu yang sampai sekarang harus tetap dijaga dan lestarikan. Budaya Bali dengan keunikannya merupakan kekayaan masyarakat Bali yang tak ternilai harganya, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur tradisi kehidupan masyarakat Bali. Dari segi bahasa misalnya, masyarakat Bali mengenal adanya sor singgih basa Bali, dimana sor singgih basa tersebut adalah tingkatan-tingkatan bahasa Bali yang digunakan oleh masyarakat Bali. Tingkatan-tingkatan penggunaan bahasa Bali ini terjadi karena adanya rasa saling menghormati dan saling menghargai antara sesama masyarakat Bali. Misalnya bila ada anggota masyarakat Bali menyapa orang yang belum mereka kenal maka mereka akan menggunakan bahasa Bali “ngesorang raga” dan “nyinggihang” orang yang diajak berbicara. Serhingga dengan sor singgih basa tersebut, masyarakat Bali bisa saling menghormati antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya di dalam berinteraksi. Begitu pula dengan adat dan budaya yang beraneka ragam yang bisa ditemukan di pulau yang indah dan unik ini. Tentunya semua memiliki nilai-nilai luhur yang patut dijaga dan dilestarikan.
Dasa warsa ini Perkembangan kebudayaan Bali sangat dipengaruhi oleh dampak globalisasi yang dirasakan sangat memerlukan perhatian. Ketika budaya asing tidak lagi dapat disaring maka akan memporak-porandakan kebudayaan masyarakat Bali, maka terjadilah pergeseran budaya yang akan mempengaruhi pola kehidupan masyarakat Bali. Dan ketika itu terjadi, sedikit demi sedikit adat dan kebudayaan masyarakat Bali akan terkikis. Hal itu menandakan bahwa upaya-upaya strategis harus segera dilakukan untuk mengantisipasi kemerosotan budaya Bali. Jangan sampai adat dan kebudayaan yang luhur ini menjadi hilang dan tinggal sejarah masa lampau.
Bahasa dan sastra Bali adalah salah satu asset kebudayaan masyarakat Bali. Dewasa ini bahasa Bali yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Bali, juga terpengaruh oleh dampak globalisasi. Bahasa dan sastra Bali sudah semakin tidak terawat. Di kalangan para remaja misalnya, sudah jarang menggunakanbahasa Bali dalam pergaulan sehari-hari. Hal itu tentu kembali pada dampak perkembangan globalisasi dewasa ini yang sangat mempengaruhi pola hidup masyarakat Bali.
Hartono (Bali Pos, 24 Oktober 2004) menyatakan bahwa, “Keluarga-keluarga muda di kawasan perkotaan Bali lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, khususnya dalam mendidik anak-anak mereka sejak dini. Sehingga, kalangan remaja di kota pulau dewata ini cenderung kurang memahami bahasa Bali, khususnya bahasa Bali halus. diprediksikan bahwa di masa depan, kemungkinan bahasa Bali halus akan semakin jarang digunakan. Bahkan ada kemungkinan, dalam beberapa tahun ke depan, bahasa Bali halus dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Fenomena seperti diatas merupakan gambaran yang sangat memprihatinkan, dimana bahasa Bali yang merupakan salah satu asset kebudayaan masyarakat Bali sudah di ambang kepunahan. Jika ramalan itu terjadi, tentu kebudayaan masyarakat Bali tidak akan bercahaya seperti dahulu lagi. Gambaran masa depan masyarakat Bali itu mengantarkan kita pada upaya-upaya apa yang harus kita lakukan bersama-sama sekarang ini. Upaya-upaya untuk melestarikan pulau Bali dengan aneka kekayaan yang dimiliki patut dilakukan oleh semua pihak, terlebih lagi generasi muda terpelajar dan cendikiawan Hindu hendaknya terpanggil untuk melakukan karya-karya nyata yang bertujuan mengangkat harkat derajat dan kesejahtraan masyarakat sekaligus dalam usaha melestarikan warisan budaya yang merupakan aset nasional yang tiada taranya (Titib, 1999:159)
Dari pernyataan tersebut, usaha atau upaya pelestarian kebudayaan masyarakat Bali adalah tanggung jawab kita bersama. Dengan kesadaran kita bersama upaya-upaya itu tidak akan terlalu sulit untuk dicapai. Bila  ditelusuri kembali dalam masyarakat Bali, banyak upaya yang semestinya bisa diperbuat untuk melestarikan bahasa dan sastra Bali. Dalam organisasi-organisasi yang terdapat diberbagai daerah di Bali, kerap kali dalam melakukan diskusi atau pertemuan tertentu masih menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya. Di dalam organisasi pesantian (yang sering di sebut sekaa santi), penggunaan bahasa Bali tidak akan dapat ditinggalkan. Karena yang dibahas di dalamnya adalah kesusastraan Bali, walaupun ada kesusastraan jawa kuna dan sansekrta dalam pembahasannya (mabebasan dan dharmatula) akan menggunakan bahasa Bali agar mudah dipahami dan diambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya oleh anggota sekaa santi. Kegiatan mabebasan adalah kegiatan yang rutin dilakukan pada setiap pertemuan oleh sekaa santi ini. Kegiatan mabebasan ini adalah kegiatan penerjemahan isi sastra ke dalam bahasa yang lebih dipahami oleh kalayah umum (tentunya dalam bahasa Bali). Kegiatan ini dilakukan dengan cara menembangkan tembang-tembang macepat, kidung, kekawin, sloka atau palawakia oleh seorang anggota sekaa santi dan langsung diterjemahkan (mabebasan) oleh salah seorang anggota lainnya. Sehingga dengan mudah akan dapat dipahami isi sastra tersebut. Dengan kemudahan untuk memahami isi kesusastraan yang di terjemahkan, tentu nilai-nilai yang terkandung dalam sastra tersebut juga akan mudah diambil oleh masyarakat.
(A Teew, 1982:13) mememuat “kehidupan mabebasan” itu demikian. “Sarjana Bali yang menyelamatkan dan menghidupkan tradisi filologi setempat itu melakukan kritik teks, penafsiran dan penerapan sastra ini dengan cara mereka sendiri, dan dalam tahun-tahun belakangan ini saya beberapa kali dapat memastikan bahwa tradisi Bali bernilai tinggi dan bermafaat sekali. Dalam kalangan terpelajar Bali tersimpan suatu pengetahuan dan keakraban dengan sastra ini yang bagi orang bukan Bali, baikpun dari Indonesia atau dari luar Indonesia sukar dicapai”.
Dengan kalimat-kalimat di atas A Teew telah menempatkan dan memberi nilai yang tinggi terhadap tradisi mabebasan, utamanya ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan. Dalam kegiatan mabebasan, berlangsunglah pekerjaan mengadakan kritik teks, penafsiran dan penerapan sastra diiringi oleh seni menembangkan sastra tembang itu sendiri. Pesantian ini adalah wadah yang sangat baik untuk mengembangkan bahasa dan sastra Bali yang berupa tembang atau. Sekaa santi  banyak sekali dapat di temukan di berbagai daerah di Bali. Salah satu kegiatan pesantian dapat ditemukan di Desa Sangkan Buana, kecamatan Klungkung, kabupaten Klungkung Di tengah hiruk pikuk keramaian kota Singaraja, sekaa santi Dharma Yajna (nama sekaa santi di Desa Sangkan Buana) di Desa Sangkan Buana-Klungkung masih eksis dalam memelihara tembang-tembang Bali yang berupa pupuh, kidung, wirama, sloka dan palawakia. Keberadaan sekaa santi ini tentunya sangat mendukung upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali. Dengan adanya sekaa santi dharma yajna tentu banyak sumbangsih yang dapat diambil untuk bahasa dan sastra Bali. Hal itu menjadi menarik perhatian penulis untuk meneliti sekaa santi di Desa Sangkan Buana, dengan judul “Kontribusi Sekaa santi dalam Upaya Pelestarian Bahasa dan Sastra Bali di Desa Sangkan Buana-Klungkung”.
1.2.     RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1                    Bagaimanakah bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan pesantian di Desa Sangkan Buana-Klungkung?
2                    Bagaimanakah bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan mabebasan di Desa Sangkan Buana-Klungkung?
3                    Bagaimanakah kontribusi Sekeha Santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali di Desa Sangkan Buana-Klungkung ?
1.3.     TUJUAN PENELITIAN
Sebuah penelitian ilmiah, sudah seharusnya  memiliki tujuan yang jelas. Salah satu kunci keberhasilan dalam penelitian adalah tujuan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.3.1        Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan bahasa dan sastra Bali khususnya di dalam pesantian di Desa Sangkan Buana-Klungkung. Karena dengan mengetahui perkembangan bahasa dan sastra Bali kita akan bisa memprediksikan langkah-langkah atau upaya-upaya strategis yang semestinya kita lakukan untuk melestarikan kebudayaan masyarakat Bali khususnya bahasa dan sastra Bali.
1.3.2        Tujuan khusus
1.    Untuk mengetahui bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan pesantian di Desa Sangkan Buana-Klungkung
2.    Untuk mengetahui bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan mabebasan di Desa Sangkan Buana-Klungkung
3.    Untuk mengetahui kontribusi Sekaa Santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali di Desa Sangkan Buana-Klungkung.


1.4.     MANFAAT PENELITIAN
Sebuah penelitian ilmiah pasti dapat memberikan manfaat terhadap masyarakat maupun terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas maka Manfaat penelitian ini ada dua bagian yaitu:
1.4.1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan bahasa Bali, khususnya di dalam sekaa santi sebagai salah satu wahana pelestarian bahasa dan sastra Bali di dalam kehidupan masyarakat Bali, karena bahasa dan sastra Bali tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan pesantian. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk para peneliti pada penelitian selanjutnya.
1.4.2.                    Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menumbuhkembangkan bahasa dan sastra Bali yang kini sudah semakin di ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Bahasa Bali merupakan salah satu aset budaya yang diwariskan kepada kita yang harus tetap kita lestarikan dan kita jaga agar tidak semakin punah. Oleh karena itu hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
1.        Generasi muda, yaitu untuk memberikan inspirasi agar ikut memperhatikan bahasa dan sastra Bali sebagai salah satu budaya Bali, karena generasi muda adalah ujung tombak perkembangan budaya Bali.
2.        Masyarakat Desa Sangkan Buana, yaitu untuk menjaga dan melestarikan seni pesantian, yang sangat diperlukan dalam kegiatan-kegiatan Agama Hindu, disamping itu juga dapat bermanfaat untuk mempelajari bahasa dan sastra Bali.
3.        Pemerhati bahasa dan sastra Bali, yaitu untuk dijadikan perbandingan dalam penelitian yang serupa dalam sekup yang lebih luas.
4.        Pemerintah Kabupaten Klungkung, untuk dijadikan pertimbangan bahwa bahasa dan sastra Bali sangat membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, terutama dari pihak pemerintah.










BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI

2.1        KAJIAN PUSTAKA
Kajian Pustaka diperlukan dalam penelitian sebagai bahan perbandingan dan acuan agar yang akan diteliti tidak sama dengan penelitian yang sudah pernah diteliti, baik kajian maupun lokasi penelitiannya. Terkait dengan hal tersebut, peneliti akan menguraikan terlebih dahulu tentang penelitian atau karya ilmiah yang menyangkut masalah yang berkaitan dengan penelitian ini sebagai berikut:
Listina (2009), dalam hasil penelitiannya yang diberi  judul “Peranan Sekaa Santi Mekar Sari dalam Melestarikan Tradisi Keberagamaan Hindu Pada Desa Pakrama Penarukan” sekaa santi Mekar Sari sebagai sistem sosial keberagamaan Hindu tampil dalam kegiatan di khayangan tiga, di Banjar, dan pada kegiatan panca yajna desa pakraman penarukan. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut sekaa santi Mekar sari tidak berpatokan atau terpaku pada materi, inilah bentuk sosial dari sekaa santi Mekar sari. Usaha sekaa santi Mekar Sari dalam melestarikan tradisi keberagamaan  Hindu pada desa pakraman Penarukan yaitu setiap melaksanakan pesantian diupayakan untuk melantunkan sekar alit dengan berbagai jenis pupuh, sekar madia (kidung warga sari) yang ada kaitannya dengan yajna dan sekar agung atau wirama bernuansa keberagamaan. Sekaa santi Mekar Sari juga merekrut anggota baru dari generasi muda sehingga terjadi regenerasi. Sekaa santi Mekar Sari juga secara rutinitas mengadakan pelatihan setiap purnama tilem di Khayangan Tiga Desa Pakraman Penarukan. Bahwa sekaa santi Mekar sari berperan besar di Khayangan tiga di Desa Pakraman Penarukan setiap diadakan upacara yajna. Di samping itu sekaa santi Mekar Sari berperan besar di banjar pakraman di setiap kegiatan panca yajna, yang diadakan oleh krama desa Pakraman Penarukan.
Hal hasil penelitian menunjukan bahwa sekaa santi Mekar Sari telah mampu melestarikan seni budaya Bali di Desa Pakraman Penarukan yaitu melestarikan tradisi mabebasan dengan membahas dan melantunkan sekar alit (geguritan), sekar madia (kidung warga sari) dan sekar agung (wirama). Dalam kaitannya dengan penelitian ini akan sangat bermanfaat sebagai acuan dalam melaksanakan penelitian. Dimana yang diteliti adalah pesantian.
Mara, (2009), dalam hasil penelitiannya yang diberi judul ”Peranan Pesantian dalam Menyebarluaskan Ajaran Agama Hindu di Desa Menanga, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem”, didapatkan hasil bahwa “Pesantian di Desa Menanga, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem memiliki peranan penting sebagai salah satu media penerangan agama Hindu. Ketika umat Hindu hendak memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa, pesantian yang dimaksud berperan sebagai pencurahan rasa bakti, sebagai alat pranayama dalam rangka membangun konsentrasi, dan sebagai pembimbing perasaan menuju suasana kesucian, sebuah syarat untuk bisa menghubungkan diri dengan Tuhan. Dengan demikian pesantian di Desa Menanga, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem merupakan salah satu media penyebarluasan ajaan agama Hindu dan wadah pelestarian budaya yang bernafaskan agama Hindu.
Sesuai dengan penelitian di atas, dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian ini, dimana pelaksanaan pesantian adalah merupakan sebuah pelestarian kebudayaan Bali  yang dalam hal ini berupa bahasa dan sastra Bali yang tentunya sangat penting sebagai media media penerangan agama Hindu. Hal itu menunjukan betapa pentingnya bahasa dan sastra Bali untuk diteliti dan sangat relevan dalam penelitian yang akan penulis laksanakan.
Selanjutnya dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutama (2009), yang diberi  judul “Penanaman Ajaran Agama Hindu Melalui Pesantian di Desa Boilan Kecamatan Tiloan Sulawesi tengah” dengan hasil penelitian yaitu: Faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan pembinaan atau penyuluhan agama Hindu pada kelompok pesantian seperti: Faktor sarana prasarana, faktor lingkungan, faktor ekonomi, faktor tempat, kurangnya partisipasi masyarakat, kurangnya tenaga Pembina atau penyuluh dan lain-lain. Hal semacam itu yang membuat pembinaan tidak dapat berjalan dengan baik. Kendala-kendala yang dihadapi selama melaksanakan pembinaan dapat diatasi dengan mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak. Dimana pihak-pihak yang bekerjasama antara lain Departemen Agama, tokoh-tokoh masyarakat dan lain-lain. Tujuan dari kerjasama yang dilakukan oleh Pembina agar dapat menutupi kendala-kendala yang terjadi dalam pelaksanaan pembinaan.
Penelitian di atas dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian ini, dimana dalam penelitian ini tentunya dalam sekeha santi yang akan diteliti akan ada sebuah kendala-kendala yang dihadapai dalam pelaksanaan pesantian maupun di dalam pembinaan atau pelatihannya. Sehingga dengan penelitian ini akan dapat memberikan gambaran tentang solusi yang mungkin diberikan untuk mengatasi kendala tersebut.
Utami (2009), dalam hasil penelitiannya yang diberi judul “Peranan Dharmagita dalam Memasyarakatkan Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu di Desa Pakraman Selat Kecamatan Kelungkung Kabupaten Kelungkung”, dengan hasil penelitian sebagai berikut: Dharmagita di Desa Pakraman Selat, Kecamatan Kelungkung, Kabupaten Kelungkung pada umumnya merupakan salah satu unsur Sad Dharma, enam metode yaitu Dharma Sedana, Dharma Yatra, Dharma Tula, Dharma Santi, Dharma Wecana. Dharmagita untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran agama Hindu yang meliputi Tatwa, Etika dan Upacara, dalam bentuk geguritan atau nyanyian suci. Dharmagita di Desa Pakraman Selat, Kecamatan Kelungkung, Kabupaten Kelungkung merupakan wadah pelestarian yang bernafaskan Hindu.
Dari hasil penelitian di atas dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian ini, dimana dalam penelitian ini pesantian merupakan wahana pelestarian bahasa dan sastra Bali. Dimana sastra-sastra Bali adalah merupakan sumber-sumber ajaran Agama Hindu.
Sanjaya, (2010) dalam hasil penelitiannya yang diberi judul ”Pembelajaran Agama Hindu Melalui Pesantian Pada Masyarakat Desa pakraman Sudaji Kecamatan Sawan Kabupaten Klungkung”  dengan hasil penelitian sebagai berikut: Pesantian dijadikan suatu pembelajaran Agama Hindu di Desa Pakraman Sudaji disebabkan oleh adanya pandangan dan minatwarga terhadap pesantian, yaitu sebagai model pembinaan perilaku, sebagai bagian dari yajna, sebagai organisasi bernuansa seni dan sebagai wadah interaksi sosial. Proses pelaksanaan pesantian rutin dilaksanakan seminggu sekali dengan kegiatan interpretasi karya-karya sastra dan penggalian nilai-nilai Agama Hindu. Adapun nilai-nilai yang ditemukan diantaranya adalah nilai etika, nilai estetika dan nilai keagamaan. Pesantian memberikan dampak terhadap perilaku kehidupan masyarakat Desa Pakraman Suidaji baik secara individual maupun sosial. Pelaksanaan pesantiani juga menemukan kendala yang mengarah pada masalah personal terkait dengan latar belakang pendidikan, ekonomi, figur teladan, kesempatan, serta permasalahan antar pribadi.
2.2        KONSEP
Mardalis (2004:35) menyatakan bahwa, Konsep berfungsi menyerderhanakan arti kata atau pemikiran tentang ide-ide, hal-hal dan kata-kata benda maupun gejala sosial yang digunakan agar orang lain yang membacanya dapat segera memahami maksudnya sesuai dengan keinginan Penulis yang memakai konsep tersebut. Jadi, dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan konsep merupakan maksud dan arti dari kata-kata maupun istilah serta gejala sosial yang digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Konsep sangat diperlukan dalam penelitian ilmiah, dengan konsep yang jelas, pembaca akan lebih cepat menangkap secara jelas tentang maksud peneliti yang sebenarnya.
Selanjutnya Narbuko dan Achmadi (2005:42) menyatakan bahwa konsep adalah unsur pokok daripada penelitian. Penentuan dan perincian konsep ini dianggap sangat penting agar persoalan-pesoalan utamanya tidak menjadi kabur. Konsep yang terpilih perlu ditegaskan, agar tidak terjadi salah pengertian mengenai arti konsep tersebut. Tetapi perlu diperhatikan, karena konsep merupakan hal yang abstrak, maka perlu diterjemahkan dalam kata-kata sedemikian rupa, sehingga dapat diukur secara empiris. Untuk itu akan diuraikan secara sistematis tentang pemikiran yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan dengan mencari pengertian-pengertian atau konsep-konsep yang relevan dengan variabel-variabel yang menjadi topik penelitian ini sehingga di peroleh pemahaman secara jelas terhadap permasalahan yang dikemukakan.
1.             Kontribusi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kontribusi berarti sumbangan. Itu berarti kontribusi adalah segala sesuatu yang dapat diberikan kepada lembaga, intitusi, perkumpulan atau yang lainnya yang berupa benda atau berupa pemikiran yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga yang diberikan sumbangan tersebut.  Dalam penelitian ini kontribusi yang dimaksud adalah sebuah sumbangan yang dapat kita ambil dari sekaa santi sebagai tempat bertumbuh kembangnya bahasa dan sastra Bali terhadap upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali.
2.             Sekaa Santi
Pada masyarakat Bali terutama pada kehidupan sosial dan kemasyarakatan yang ada, berkembang suatu sistem kesatuan sosial yang disebut banjar dan desa. Di samping itu berkembang pula kelompok-kelompok kepentingan lain dalam wujud yang lebih kecil, baik dalam lingkup kepentingannya, cakupan wilayah, maupun jumlah anggotanya yang disebut sekaa. Kadang-kadang sekaa ini merupakan bagian dari organisasi banjar atau desa yang ada, tetapi tidak jarang pula sekaa-sekaa tersebut terlepas dari ikatan banjar atau desa. Pada beberapa kasus bahkan anggota sekaa bisa terdiri atas anggota beberapa banjar atau desa, sehingga merupakan bentuk organisasi sosial yang khas yang meliputi atau mencakup suatu wilayah yang cukup luas. Sekaa merupakan kesatuan dari beberapa orang anggota banjar yang menghimpun diri atas dasar kepetingan yang sama dalam beberapa hal (Pitana, 1994:113)
Clifford Geertz dalam Pitana, (1994:113) merumuskan sekaa sebagai lembaga atau kelompok sosial sebagai berikut: Sekaa itu merupakan suatu organisasi yang dibentuk untuk mencapai suatu tujuan atau maksud yang khusus. Kelompok-kelompok seperti itu didirikan untuk sementara waktu saja, tetapi ada pula yang hidup bertahun-tahun bahkan untuk beberapa angkatan lamanya. Bisa didirikan untuk satu tugas saja, berlangsung dari satu tugas ke tugas yang lain; ada yang amat luas sifatnya dan ada juga yang terdiri dari beberapa orang anggota saja. Adapun sekaa tidak pernah sejajar tetapi selalu melintang batas-batas kesatuan sosial yang lain, seolah-olah mempersatukan orang-orang dari berbagai golongan, semata-mata atas pertalian persahabatan yang punya persamaan kebutuhan.
Dari rumusan itu, dapat diambil bahwa sekaa adalah sebuah organisasi yang terdapat di dalam masyarakat yang berada dibawah tataran Desa dan Banjar yang tentunya bertujuan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang ada di banjar atau desa tersebut. Dengan kepentingan masing-masing, ada berbagai jenis sekaa yang ada di pulau Bali ini. Sekaa-sekaa itu terdapat di seluruh pelosok pulau Bali ini. Masyarakat yang suka dengan tabuh atau gong misalnya, mereka  berkumpul sehingga terbentuk sekaa gong. Masyrakat yang berkepentingan menanam padi, mereka berkumpul untuk membentuk sekaa celek. Masyarakat yang berkepentingan memanen padi, mereka membentuk sekaa manyi, dan masih banyak kepentingan-kepentingan lain yang menyebabkan terbentuknya sekaa-sekaa tersebut. Termasuk masyarakat yang senang dengan pesantian atau dharma gita, mereka membentuk sekaa santi.
Sekeha Santi adalah kelompok masyarakat pecinta sastra daerah Bali yang berupa tembang. Di dalam sekeha santi ini terjadi olah vokal tradisional. Sekeha santi secara Etimologi berasal dari kata ”sekaa” yang artinya perkumpulan, kelompok dan ”Santhi” (bahasa Sansekerta) yang berarti ketenangan, kesentosaan, dan doa (penolak Bala), sekeha santi berarti sebuah perkumpulan atau kelompok pecinta sastra daerah Bali yang bertujuan untuk mencari ketenangan, kesentosaan dan berdoa dengan melantunkan tembang-tembang. Dalam Bahasa Bali. Kata ”Santhi” berubah menjadi ”Santi”. Kemudian kata itu mendapat imbuhan gabung/ konfik pe-an yang berarti tempat. Kata Santi setelah mendapat konfik pe-an menjadi pesantian yang mempunyai arti  tempat kedamaian atau tempat mencari kedamaian. Jadi pesantian merupakan wadah kelompok belajar terutama dalam mempelajari ilmu yang terkandung dalam kesusastraan Bali sehingga tercapai sebuah kedamaian.
Sekeha santi sebagai wadah kelompok seniman seprofesi memiliki jadwal latihan yang tetap. Biasanya 1 sampai 2 minggu sekali. Dalam latihan yang diadakan dalam kelompok itu satu orang atau lebih bertindak sebagai pelatih dan pembina. Disini mereka berlatih dari baru belajar nembang sampai dengan belajar menerjemahkan. Pelatih atau pembina adalah orang yang telah lanjut usia atau orang yang punya kemampuan yang lebih dari anggota yang lain. Kadang-kadang dalam acara latihan diselingi dengan arisan uang yang diundi sebulan sekali. Hal ini dimaksudkan untuk mengikat anggota, agar perkumpulan tidak mudah bubar atau dapat bertahan lebih lama.
Di Bali jumlah pesantian yang ada sudah banyak sekali. Bahkan setiap banjar memiliki wadah kelompok santi ini. Di Bali jumlah pesantian umumnya memiliki jumlah anggota berkisar antara 10 sampai 35 orang. Keanggotaan pesantian bersifat sukarela. Hal ini karena dharmagita hanya merupakan kegemaran semata-mata. Persyaratan untuk masuk menjadi anggota pesantian hanyalah kemauan. Sekeaa santi biasanya berdiri bila ada seseorang tokoh yang memprakarsainya. Orang yang masuk menjadi anggota sekaa santi, terdiri atas berbagai gologan seperti tani, buruh, pegawai atau orang-orang wiraswasta.
3.    Pelestarian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) lestari berarti tetap seperti  keadaannya semula; tidak berubah; bertahan; kekal. Kemudian kata lestari mendapat imbuhan berupa awalan pe- dan akhiran –an sehingga menjadi pelestarian, dimana pelestarian berarti proses, cara, perbuatan melestarikan; perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini pelestarian dimaksudkan untuk mempertahankan, menjaga, melindungi, bahasa dan sastra Bali dari kemusnahan. Karena telah kita ketahui bersama bahasa kebanggaan kita yaitu bahasa Bali, kini sudah semakin memudar penggunaannya. Bahasa dan sastra Bali sebagai salah satu aset budaya Bali sangat membutuhkan perhatian dari berbagai pihak untuk menjaganya agar tetap lestari agar dapat kita wariskan kepada generasi penerus.
4.    Bahasa
Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaksis untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. Bahasa memiliki berbagai definisi. Definisi bahasa adalah sebagai berikut:
1.      suatu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
2.      suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke dalam pikiran orang lain
3.      suatu kesatuan sistem makna
4.      suatu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna.
5.      suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh: Perkataan, kalimat, dan lain-lain.)
6.      suatu sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik.
Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada manusia, dinyatakan bahwa bahasa adalah fungsi kognisi tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan. Ilmu yang mengkaji bahasa ini disebut sebagai linguistik. Kamus Besar Bahasa Indonesia secara terminology mengartikan bahasa sebagai  sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Keraf (1994:1) memberikan pengertian bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa juga mencakup dua bidang, yaitu bunyi vokal dan arti atau makna. Bahasa sebagai bunyi vokal berarti sesuatu yang dihasilkan oleh alat ucap manusia berupa bunyi yang merupakan getaran yang merangsang alat pendengar. Sedangkan bahasa sebagai arti atau makna berarti isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan orang lain.
Bahasa merupakan salah satu kegiatan sosial dan merupakan bagian dari kebudayaan. Bila dihubungkan pengertiannya bahwa setiap kebudayaan memiliki tujuh unsur yaitu: system mata pencarian, peralatan, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, agama, kesenian dan bahasa. Itu berarti bahasa merupakan bagian dari kebudayaan.
Semua manusia atau kelompok manusia di dunia ini mempunyai bahasa. Bahasa dan manusia tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Manusia sebagai mahluk sosial selalu membutuhkan bahasa sebagai alat dalam pembentukan masyarakat. Dengan demikian bahasa Bali adalah sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang bersifat arbiter yang digunakan oleh masyarakat Bali untuk berkomunikasi.
Seperti yang sudah di katakan sebelumnya bahwa bahasa Bali merupan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang di pelihara dengan baik oleh penuturnya, yaitu etnis Bali. Penutur bahasa Bali sebagian besar berada di wilayah Provinsi Bali. Selain itu, penutur bahasa Bali juga terdapat di Lombok Barat, di daerah-daerah transmigrasi seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatra Selatan dan di Pulau Sumbawa. Bahasa-bahasa daerah di Indonesia, termasuk bahasa Bali dalam kaitannya dengan politik nasional, berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah (dalam hal ini kususnya Bali), (2) lambang identitas daerah, (3) sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat, (4) pendukung bahasa Nasional, (5) pengantar di sekolah Dasar pada tingkat permulaan, dan (6) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah Bali.
5.    Sastra
Di dalam bahasa Indonesia, kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta, dari akar kata Sas- dalam kata turunan berarti mengarahkan, memberi petunjuk, dan sebagainya, sedangkan kata –tra biasanya menunjuk alat. Jadi kata sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk.
Sesuai dengan konteks budaya Bali, Bagus (1988:65-66) menguraikan tentang hal itu sebagai berikut: Hurup atau Aksara Bali dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Bali baku dengan dua kata yaitu, Aksara dan Sastra. Di samping terdapat kata non baku Tastra  yang merupakan bentuk rusakan dari kata Sastra tadi, lebih lanjut beliau mengatakan kedua kata itu mengacu pada makna yang sama, namun pemakaian kata Sastra lebih luas umpamanya dalam memperoleh awalan nasal (N-) sehingga kata Sastra menjadi Nyastra yang artinya berilmu.
Dengan demikian  kata sastra dalam bahasa Bali digunakan dalam cakupan makna yang sangat luas yaitu dengan adanya istilah Nyastra atau Wong Nyastra yang artinya orang yang berilmu. Arti berilmu di sini dalam konteks budaya Bali tidak saja tahu tentang sastra, tetapi “segala”  ilmu pengetahuan. Pengertian sastra di Bali pertama-tama berarti apa yang tertulis, peraturan, kitab yang berisi peraturan, kitab pelajaran atau kitab ilmu pengetahuan, oleh karena itu sering kita dengar “malajah ngugonin sastra” yang berarti belajar menggeluti ilmu pengetahuan.
Sastra Bali (Daerah) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Daerah dalam hal ini bahasa Daerah yang dimaksud adalah bahasa Bali. Jadi sastra Bali  yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sastra-sastra Bali yang ada di daerah Bali ini yang digunakan dan dibahas didalam pesantian.
2.3   TEORI
Untuk memperjelas jalannya penelitian yang akan dilaksanakan, maka peneliti perlu menyusun kerangka pemikiran mengenai konsepsi tahap-tahap penelitiannya secara teoritis. Kelinger dalam (Sugiono, 2010:79) menyatakan bahwa, Teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, maka landasan teori yang digunakan dalam  penelitian ini adalah; teori sosiolinguistik, teori intraksionalisme simbolik dan teori Fungsi
2.3.1        Teori Sosiolinguistik
Setiap teori tentu memiliki sebuah landasan agar teori itu dapat dipercaya oleh orang yang hendak menganutnya, demikian juga dengan kajian sosiolinguistik. Dalam teori ini menurut para ahli sosiolinguistik memandang bahwa hakikat bahasa sebagai kajian objek mereka. Hakikat bahasa disini dapat dibagi menjadi dua yaitu interdisipliner dan disipliner. Interdisipliner memiliki sifat yakni makrolinguistik, kajian ini berorientasi pada factor eksternal bahasa. Setelah berkembang kajian interdisipliner lebih mengarah ke sifat dinamika. Sedangkan disipliner memiliki sifat mikrolingustik dan condong kearah sistem internal bahasa. Kajian bahasa memiliki sebuah perangkat yang terbagi atas langue dan parole dimana telah kita ketahui bahwa langue memiliki sifat abstrak dan parole bersifat kongkret.
Keduanya akan membentuk dua asumsi dasar kajian bahasa yakni pertama, bahasa dipandang sebagai sistem tanda yang dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang dapat membentuk tata bahasa dan kedua, bahasa dipandang sebagai perangkat tingkah laku yang telah ditransmisikan secara cultural atau dipakai oleh sekelompok individu. Sistem tanda yang mengacu kepada kode ini memiliki dalil yaitu bahasa sebagai sistem komunikasi, bersifat sistematis maupun sistemis, bahasa anak terhadap bahasa pertamanya cukup lengkap. Sedangkan asumsi yang kedua mengarah ke kesejajaran dan korelasi ini juga memiliki suatu paham bahwa bahasa sebagai tingkah laku budaya manusia, didalam masyarakat tutur diperlukan adanya pembaruan, masyarakat tutur selalu ada reaksi subjektif terhadap variasi bahasa, di dalam masyarakat tutur dan masyarakat bahasa terdapat varian bahasa. Selain landasan dan perangkat asumsi kajian bahasa juga memiliki 4 tipe pemerian ilmiah yakni deduktif, probabilistic, fungsional dan genetic.
 Perbedaan antara sosiolinguistik dengan linguistic ialah jika berdasarkan orientasi filosofis, sosiolinguistik menganut pahan nominalisme sedangkan linguistik lebih kearah realisme. Dari sistem bahasa sosiolinguistik bersifat terbuka, linguistic bersifat tertutup. Pada sifat bahasa sosiolinguistik bersistem yang heterogen sedangkan linguistic hanya homogen. Jika dilihat dari focus deskripsi, sosiolinguistik lebih memperhatikan fungsi bahasa dalam masyarakat sedangkan linguistic lebih mementingkan struktur. Dilihat dari data sosiolinguistik bisa berupa verbal dan non verbal sedangkan linguistic hanya verbal saja. Pada unit data sosiolinguistik berupa wacana sedangkan linguistic berupa kalimat. Berdasarkan pendekatan sosiolinguistik cenderung multidisipliner sedangkan linguistic kearah unidisipliner. Kesimpulan diatas pada kajian ini cenderung mengindahkan fungsi bahasa tersebut dalam peristiwa atau kegiatan social yang terjadi dalam masyarakat secara terpadu misalnya sistem social, stratifikasi social, diferensiasi social, mobilitas social dan pranata social.
        Dimensi-dimensi yang terdapat dalam sosiolinguistik antara lain identitas social penutur dan mitra tutur entah dalam hal ini si mitra tutur maupun penutur keberadaannya segabai bawaan, usaha maupun pemberian. Tempat dan waktu terjadinya komunikasi (tempat dan waktu pembicaraan sangatlah berpengaruh terhadap pemilihan kode dan gaya bertutur seseorang), analisis sinkronik dan diakronik (diwujudkan dalam deskripsi pola-pola dialek social baik berdasar pada asal daerah, kelompok social, tingkat formalitas maupun berdasar pada perkembangan waktu), penilaian social terhadap bahasa (dimensi tersebut berhubungan dengan sikap bahasa yang terdiri atas kognitif, afektif dan kognititif), tingkat dan luasnya variasi bahasa (dari hal ini akan terlihat jelas bahwa keheteroginan bahasa sangatlah bisa terwujud, keheteroginan bahasa menyebabkan hadirnya variasi bahasa, ciri ini dibedakan menjadi multidialektal, multilingual, dan ultisosietal), dan penerapan praktis yang merupakan bentuk kongkrit kontribusi dari hasil kerja sosiolinguistik. Dalam kaitannya dengan penelitian ini teori ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengkaji bahasa yang digunakan oleh sekeha santi di dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat di lingkungan sekeha santi tersebut
2.3.2        Teori Interaksional Simbolik
Teori ini di gagas oleh George Herbert Mead. Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik. Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:
1                 Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
2                 Pentingnya konsep mengenai diri,
3                 Hubungan antara individu dengan masyarakat
Tema pertama pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969)dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:
1.Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka,
2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri atau Self-Concept. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes dalam West-Turner (2008: 101), antara lain:
1.      Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
2.      Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku
Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi- asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah:
1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Mead ( dalam Supratiknya, 1993 : 156 ) menyatakan bahwa aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, dimana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti penting” (a significant symbol”). Kata-kata dan suara lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang bermakna.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.
Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.
Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang: orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan perilaku orang lain.
Menurut Wallace dkk. 1986 ( dalam Triguna, 2000 : 35) menyatakan bahwa ada empat perangkat simbol yaitu : (1) Simbol kontruksi yang bersifat kepercayaan dan biasanya merupakan inti dari agama, (2) simbol evaluasi berupa penilaian moral yang sangat sarat dengan nilai, norma, dan aturan, (3) Simbol kognisi yang merupakan pengetahuan yang dimanfaatkan manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dan keteraturan agar manusia lebih mengenal lingkungannya, dan (4) sinmbol ekspresi berupa pengungkapan perasaan. Hampir seluruh simbol tersebut bersifat Share values, yaitu disepakati bersama serta memiliki fungsi integratif untuk mempertahankan sosial dan memelihara kebersamaan dalam masyarakat, atau sebaliknya sesuatu yang dapat mewujudkan disintegratif.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, teori interaksional simbolik akan digunakan untuk memahami bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan mabebasan.
2.3.3        Teori Fungsi
Teori Fungsi yang dikemukakan oleh Malinowski dalam Sutariani (2003:13), yang mengatakan bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupan. Kesenian sebagai salah satu contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan naluri dan keindahan (Koentjaraningrat, 1980:171). Malinowski menegaskan kembali bahwa fungsionalis adalah gagasan bahwa masyarakat dilihat sebagai suatu totalitas fungsional, seluruh adat kebiasaan dan praktek harus dipahami dalam totalitas konteksnya dan dijelaskan dengan melihat fungsinya bagi anggota masyarakat.
Teori fungsi digunakan  karena dianggap relevan untuk mengetahui kontribusi dari sekaa santi terhadap pelestarian bahasa dan sastra Bali. Teori ini dipergunakan untuk membahas permasalahan yang ke tiga yaitu kontribusi sekaa santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali di Desa Sangkan Buana-Klungkung.









BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian mempunyai peranan yang sangat penting dalam menyusun karangan ilmiah atau dalam penelitian, karena keberadaannya mempengaruhi nilai ilmiah yang dihasilkan oleh peneliti, sebab dalam pengumpulan data, menganalisis data, dan di dalam pengambilan suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian yang dilaksanakan, dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang timbul. Nawawi (1993:6) untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam penelitian agar mendapatkan hasil yang lebih baik, maka digunakannlah beberapa cara atau tehnik yang dikenal dengan metode. Yang dimaksud dengan metode adalah, cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, oleh karena tujuan penelitian adalah untuk memecakan masalah. Maka langkah-langkah yang ditempuh harus relevan dengan masalah yang dirumuskan.
3.1. Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini mengambil lokasi di kelompok sekaa santi Dharma Yajna di Desa Sangkan Buana, kecamatan Klungkung, kabupaten Klungkung Adapun jumlah dari sekaa santi tersebut sebanyak 13 orang laki-laki. Tempat latihan dilaksanakan di rumah anggota sekaa santi secara bergiliran, yang diadakan dua kali dalam 1 (satu) bulan pada hari jumat minggu ke 2 (dua). Latihan diadakan pada malam hari mulai dari jam 8 hingga jam 11 malam.

3.2 jenis dan pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedekatan kualitatif. Moleong (1993:4) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau kontek dari suatu sentuhan (entity).  Lebih lanjut Salim (2001:5) menyatakan bahwa  penelitian kulitatif bekerja pada seting yang alami, yang berupaya untuk memahami, memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan orang-orang padanya.
Mustafa (dalam Alwasilah, 2005 : 25) dalam bidang pendidikan kualitatif bisa menelaah berbagai bentuk dan dilaksanakan dalam berbagai latar. Oleh karena itu rancangan yang digunakan bersifat  fleksibel dan sementara, karena akan selalu disempurnakan dan disesuaikan secara terus-menerus dengan kenyataan yang ada di lapangan. Sarwono ( 2006 : 199 ) menegaskan penelitian kualitatif bersifat fleksibel dan berubah-ubah sesuai dengan kondisi lapangan tidak seperti desain kuantitatif yang bersifat tetap, baku, dan tidak berubah-ubah.
Nawawi (dalam Nurjanah dkk, 2000:22) menyatakan bahwa penelitian deskriptif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) memusatkan perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah yang bersifat aktual, 2) Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagai mana adanya, diiringi interpretasi yang rasional. Masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masalah tentang kontribusi sekaa santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali di Desa Sangkan Buana Klungkung, akan digambarkan apa adanya, disertai komentar-komentar yang bersifat rasional.
Berdasarkan pendapat diatas, maka penelitian yang dilaksanakan ini adalah jenis penelitian kualitatif Fenomenologis yang bertujuan untuk mendeskripsikan kontribusi sekaa santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali. Hal ini bertolak dari pengamatan fenomena awal yang ditemukan bahwa bahasa dan sastra Bali sudah semakin mendekati kelangkaan di kalangan masyarakat Bali, terbukti dengan sudah semakin jarangnya penggunaan bahasa Bali dalam pergaulan terutama pada generasi muda.
3.3      Jenis dan Sumber Data
Dalam suatu penelitian selalu terjadi proses pengumpulan data. Dalam proses pengumpulan data tersebut akan menggunakan satu atau beberapa metode. Jenis metode yang dipilih dan digunakan dalam pengumpulan datatentunya haru ssesuai dengan sifat atau karakteristik penelitian yang dilakukan. Pengumpulan data dalam penelitian harus mendapatkan bahan atau sumber yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Untuk memperoleh data, sumber data sangatlah penting. Data dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
3.3.1        Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang memerlukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukan. Jadi data yang bersifat primer terkait dengan penelitian ini adalah data yang diambil dari sumber pertama yang diperoleh dari informan yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pesantian seperti anggota sekaa santi.
3.3.2        Data skunder
Data yang diperoleh dari sumber kedua. Data ini diperoleh dari sumber berupa dokumen, hasil penelitian, artikel, lontar, serta sumber pustaka yang berkaitan dengan obyek penelitian.
3.4  Subjek dan Objek Penelitian
Dalam suatu penelitian terlebih dahulu ditentukan subjek penelitian. Subjek penelitian adalah sumber  utama data pada penelitian yaitu  yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti ( Azwar, 2005 : 34 ).
Adapun subjek yang diteliti yaitu para anggota sekaa santi Dharma Yadnya di Desa Sangkan Buana Kecamatan Klungkung. Dengan dasar pertimbangan untuk mengetahui kontribusi sekaa santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali di Desa Sangkan Buana-Klungkung, dengan cara meneliti kegiatan Pesantian yang dilakukan, bahasa yang digunakan ketika mabebasan dan sastra Bali yang dibahas dalam kelompok sekaa santi Dharma Yajna di Desa Sangkan Buana, kecamatan Klungkung, kabupaten Klungkung
Dalam penelitian ini kreteria pemilihan objek adalah tingkat masalah-masalah yang ingin diteliti. Adapun masalah-masalah yang diteliti yaitu,  bagaimanakah bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan mabebasan, bagaimanakah bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan pesantian dan bagaimanakah kontribusi Sekaa Santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali di Desa Sangkan Buana- Klungkung.
3.5  Teknik Penentuan Informan
Informan dalam penelitian ini ditunjuk dan ditetapkan secara purposive sampling dan snowball sampling. Margono (1985 : 74) dinyatakan bahwa teknik purpocive sampling adalah cara pengambilan sampel berdasarkan kepada ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
Nawawi (1983: 112) di nyatakan bahwa teknik purposive sampling adalah cara pengambilan sampel berdasarkan kepada ciri-ciri atau sifat populasi yang telah di ketahuii sebelumnya, serta di ambil secara sembarangan tetapi dengan memberikan kesempatan kepada seluruh objek penlitian untuk dipilih. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan dan tujuan tertentu dari peneliti. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sumber data di lakukan secara berantai dari sampel responden satu ke responden yang lain. Hal ini dilakukan sampai sumber data dianggap cukup (Sugiyono, 2005 : 53-54).
Penggunaan teknik purposive sampling dalam penelitian berdasarkan kepada pengetahuan tentang ciri-ciri tertentu yang didapat dari populasi yang dikenal sebelumnya. Berdasarkan ciri tersebut kemudian peneliti memilih kelompok-kelompok tertentu sebagai inti atau kunci dalam sampel untuk memperoleh data dalam penelitian ini. Snowball sampling dilakukan dengan menentukan informan kunci terlebih dahulu sedangkan informan selanjutnya ditentukan kemudian. Hal ini dilakukan sampai data yang diperoleh dianggap cukup.
Dalam penelitan ini yang ditetapkan sebagai informan adalah para sekaa santi, ditetapkan sebagai informan kunci sebanyak satu orang.
3.6  Metode Pengumpulan Data   
Metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui metode pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Dalam pengertian yang lebih luas metode adalah cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah yang sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipahami dan dipecahkan ( Ratna, 2004 : 34 ). Dalam penelitian Ilmiah metode mutlak diperlukan, karena metode merupakan suatu upaya untuk mengadakan suatu pendekatan terhadap suatu masalah untuk mewujudkan hasil yang sempurna. Sehubungan dengan upaya ilmiah, metode menyangkut cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Jendra, 1981 : 20).
Berdasarkan batasan diatas, maka dapat disimpulkan metode adalah cara kerja, strategi, langkah-langkah sistematis yang berfungsi untuk menyederhanakan masalah, memahami objek yang menjadi sasaran sehingga lebih mudah untuk dipecahkan untuk mewujudkan hasil yang sempurna. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.6.1        Metode Observasi
Hadi dalam sugiono (2010:203) mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Dalam melakukan observasi, peneliti hanya melakukan pengamatan atas segala tingkah laku responden dengan menggunakan panca indera dan kemudian mencatat hasilnya.
Berdasarkan batasan diatas maka dapat disimpulkan observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis dengan memusatkan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Untuk membantu dalam usaha pencapaian tujuan dari penelitian ini, maka dalam metode observasi akan digunakan teknik observasi partisipan atau berperan serta.
Observasi partisipan adalah suatu bentuk observasi khusus dimana peneliti tidak hanya menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil berbagai peran dalam situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan diteliti. Menurut Sugiono (2010:204) dalam observasi partisipan, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan observasi partisipan ini maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap prilaku yang nampak.  Peluang yang paling besar adalah berkenaan dengan kemampuan peneliti untuk mendapatkan akses terhadap peristiwa-peristiwa atau kelompok-kelompok yang tidak mungkin bisa sampai pada penelitian yang ilmiah. Dengan kata lain untuk beberapa topik, barangkali tidak ada cara lain untuk mengumpulkan data tanpa melalui observasi partisipan. Jadi, dengan berpartisipasi atau berperan serta dalam pengamatan adalah cara untuk mengamati lebih dalam atau penghayatan yang mendalam, agar memperoleh data yang sebenarnya.
Dalam observasi partisipan peneliti dapat berperan ganda, karena dapat terlibat langsung dengan objek penelitian yang diteliti sehingga peneliti dapat lebih leluasa (enjoy) dan lebih akrab dengan subjek yang diteliti serta memungkinkan bertanya secara lebih teliti, lebih rinci dan lebih detail. Adapun aspek-aspek yang diamati adalah lingkungan berlangsungnya kegiatan Sekaa Santi. Dalam pengamatan yang dilakukan tidak saja dilakukan pengamatan terhadap perilaku yang tampak, akan tetapi juga tentang aspek bahasa dan sastra Bali yang digunakan dalam pesantian tersebut. Peneliti dalam terlibat secara langsung didalamnya. Dilakukan dengan cara pencatatan dan perekaman dengan tape recorder, untuk menghindari data yang hilang. Catatan lapangan adalah  catatan yang dibuat sendiri oleh peneliti pada saat peneliti mengadakan pengamatan, wawancara atau pada saat peneliti menyaksikan suatu kejadian atau peristiwa tertentu. Catatan-catatan tersebut bisa dibuat dalam bentuk kata-kata kunci, singkatan, pokok-pokok utama, yang selanjutnya akan disempurnakan oleh peneliti kemudian.
3.6.2        Metode Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawabsambil bertatap muka antara sipenanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara) (Nazir, 1988:234). Menurut  Syamsul, (2006:66) Wawancara dikatakan sebuah interaksi secara langsung antara peneliti dengan responden. Dengan melakukan wawancara peneliti akan dapat menangkap bahasa isyarat yang diberikan oleh responden, tidak hanya sekedar yang dijawab atas pertanyaan, namun juga keakuratan dari jawaban tersebut.  Hadi dalamSugiono  (2010:194) mengemukakan bahwa anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti untuk menggunakan metode interview dan juga kuisioner(angket) adalah sebagai berikut:
1.        bahwa subjek (responden) adalah orang yang paling tau tentang dirinya sendiri.
2.        bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepadapeneliti adalah benar dapat dipercaya
3.        bahwa interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti.
Jadi, dengan melakukan wawancara sebagai metode pengumpulan data maka peneliti dapat secara langsung melihat psikologis responden dalam memberikan keterangan-keterangan. Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengadakan komunikasi verbal semacam percakapan, dengan melakukan tanya jawab yang bertujuan untuk memperoleh informasi, kemudian melakukan pencatatan secara sistematis berdasarkan pada tujuan penelitian.
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut diatas maka dapat disimpulkan wawancara adalah pengumpulan data dengan mengadakan komunikasi verbal bertatap muka langsung dengan responden, dengan melakukan tanya jawab untuk mendapatkan informasi atau keterangan kemudian melakukan pencatatan secara sistematis berdasarkan pada tujuan penelitian.
3.7  Metode Analisis Data
Sugiyono (2010:335) menyimpulkan beberapa pendapat para ilmuan bahwa analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dfengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Adapun metode yang dilakukan untuk menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah Metode Deskriftif Kualitatif. Metode deskriptif kualitatif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lai-lain) pada saat sekarang yang masih tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1993:63). Metode deskritif merupakan suatu cara mengolah data dengan jalan menyusunnya secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan. Sedangkan kualitatif adalah peneliti hanya melaporkan keadaan lokasi penelitian dan bukan mengubah atau membuat fenomena baru dalam lokasi penelitian.
Dengan menggunakan model analisis data seperti diatas, diharapkan untuk menghasilkan suatu deskripsi yang akurat dan membumi atau terkait dengan fenomena yang ada di lapangan. Dalam upaya analisis data  langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagiai berikut:
a.       Reduksi Data
Reduksi Data adalah proses pengubahan rekaman data kedalam pola, fokus, atau kategori permasalan tertentu. Dimana data-data yang terkumpul lewat catatan-catatan yang didapat dilapangan diresum dan diseleksi berdasarkan fokus dan pokok permasalahan. Kemudian selanjutnya data yang relevan diharapkan telah tersusun dan teroganisir sesuai dengan kebutuhan.
Data yang direduksi atau dibuang adalah data yang tidak terkait dengan permasalahan yang ada dalam penelitian yang dilaksanakan. Oleh karena data yang terkumpul dalam penelitian kualitatif sangat banyak, sehingga kemungkinan ada data-data yang harus dibuang. Nasution (1996:128) membuktikan bahwa data yang terkumpul dilapangan dalam proses pengumpulan data merupakan laporan yang bersifat mentah yang patut disusun, difokuskan pada hal-hal yang penting, disusun lebih sistematis, dan dibuang apabila data itu tidak dibutuhkan dalam analisis data.
Data yang dijaring dalam penelitian ini hanyalah data yang terfokus serta sesuai dengan tujuan penelitian yang dilaksanakan. Oleh sebab itu, data-data yang terkumpul  tetapi yang tidak terkait dengan tujuan penelitian akan dibuang. Dalam usaha reduksi data ini dilakukan beberapa kegiatan antara lain:
b.       Penyajian Data
Penyajian data adalah menampilkan data dengan memasukkan data kedalam matrik yang diinginkan. Hal ini dilakukan setelah proses reduksi data, selanjutnya data diolah lagi dengan menyusun atau menyajikan kedalam matrik-matrik yang sesuai dengan keadaan data. Matrik-matrik ini berfungsi: memilah data yang sudah direduksi, memudahkan pengkontruksian data yang berguna untuk menuturkan, menyimpulkan, dan menginterpretasikan data, memudahkan mengetahui cakupan data yang telah terkumpul sehingga data yang masih dianggap kurang segera dapat dilengkapi dengan cara mengumpulkan ulang dilapangan.
Data yang telah direduksi selanjutnya disusun dan ditata dalam satuan peristiwa dan satuan makna yang meliputi pendapat sekaa santi terhadap kontribusi sekaa santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali.
c.      Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah suatu upaya untuk mencari kesimpulan atas data yang direduksi dan disajikan serta yang telah dianalisis. Berdasarkan dari pengertian ini peneliti menarik kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan peneliti yang diteliti.











BAB IV
PENYAJIAN HASIL PENELITIAN

4.1    Gambaran Umum Objek Penelitian
Letak geografis merupakan salah satu faktor yang  sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari beberapa aspek, diantaranya; pola pikir masyarakat, berbagai aktivitas yang  dilakukan dan juga tingkat kekerabatan yang tumbuh di daerah tersebut. Keadaan geografis yang bagus juga mampu membuka kemungkinan-kemungkinan yang luas yang dapat mengembangkan aktivitas-aktivitas yang ada pada manusia.
Mengetahui faktor geografis dalam  pengaruhnya terhadap  kehidupan  manusia setidaknya dapat mencari cara untuk mengatasi permasalahan yang  mungkin akan terjadi. Setiap daerah tentu juga tidak akan bisa lepas dari permasalahan yang akan terjadi sebagai akibat pengaruh keadaan geografis. Begitu juga dengan daerah Klungkung yang juga merupakan salah satu daerah tujuan wisata dan dahulunya sempat menjadi daerah pusat kerajaan di Bali tentu membawa dampak di masing-masing daerah. Mengetahui keadaan ini tentunya tampak jelas ada perbedaan yang mencolok dilihat dari  aktivitas-aktivitas masyarakatnya. Kebiasaan-kebiasaan dan praktik sosialnya tampak akan berbeda di setiap wilayah yang ada di kabupaten Klungkung.
Kabupaten Klungkung terletak di Pulau Bali bagian timur, merupakan kota yang relatif kecil dibandingkan dengan kota yang ada di propinsi Bali. Kabupaten Klungkung merupakan kabupaten yang luasnya terkecil kedua setelah Kota Denpasar dari sembilan kabupaten yang ada di Bali. Kabupaten Klungkung  merupakan  wilayah pesisir yang berdekatan dengan pantai.
            Ibu kota kabupaten Klungkung bernama Semarapura dengan luas wilayah Kota klungkung adalah 7 Km². Dalam sejarah Klungkung, pusat kerajaan berada di wilayah Gelgel, dalam perkembangan selanjutnya, terlepas dari peristiwa sejarah, maka selanjutnya ibu kota raja pindah ke Klungkung hingga saat ini dikenal dengan nama Kota Semarapura.
            Secara Astronomi, Kabupaten klungkung terletak antara 115° 21’28” - 115° 37’ 43” Bujur Timur (BT) dan 80 ° 27’ 37” - 80° 49’ 00” Lintang Selatan (LS), dengan batas-batas wilayahnya sebagai berikut; sebelah utara Kabupaten Bangli, timur Kabupaten Karangasem, sebelah selatan Samudera Hindia dan  sebelah barat Kabupaten Gianyar dengan luas wilayah 315 Km² (BPS, 2010:2).
            Orbitasi jarak dari provinsi Bali menuju kota Kabupaten Klungkung adalah 40 (empat puluh) Kilometer dengan waktu tempuh  sekitar 2 (dua) jam perjalanan. Akses jalan menuju Kota Klungkung dapat ditempuh melalui beberapa jalur alternatif yakni lewat jalan Batu Bulan – Gianyar – Klungkung, dan saat ini juga bisa ditempuh  melalui  jalan By Pass Prof. Ida Bagus Mantra – By Pass Kusamba. Orbitasi Jarak  dari kota Semarapura ke kota kecamatan di wilayah  Kabupaten Klungkung yaitu: dari kota Semarapura ke Kecamatan Banjarangkan  yaitu 5,50 Km²,  Kota Semarapura ke Kecamatan Nusa Penida berjarak 25 Km². dari Kota Semarapura ke Kecamatan Dawan berjarak 6,5 Km²
            Daerah Kabupaten Klungkung  terdiri atas daerah dataran membujur dari utara ke selatan, melintang dari barat ke timur, terdiri atas kepulauan, meliputi: Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa ceningan dan Pulau Nusa lembongan. Antara daerah dataran dengan daerah kepulauan dipisahkan oleh selat Badung yang lebarnya ±18 Km².
            Kabupaten Klungkung memiliki luas 315,00 Km² merupakan  luas daerah terkecil di Pulau Bali sekitar 5,6 % dari Pulau Bali yakni  5.621,3 Km². Apabila luasnya dibandingkan  dengan luas  daerah dataran  Kabupaten Klungkung, seluas 112,16Km² atau hampir 2 % dari luas pulau Bali, sedangkan luas Kepulauan Nusa Penida 202,84 Km². Dengan melihat luas daerah Kabupaten, juga dapat diidentifikasi bentangan wilayah  pantai yang dimilikinya.
Kabupaten Klungkung memiliki panjang pantai 107 Kilometer (93,8 Kilometer di Klungkung kepulauan, dan 13,2 Kilometer  di klungkung daratan). Keadaan ini sudah tentu merupakan potensi yang sangat besar bagi kabupaten Klungkung terutama dapat dilihat dari sektor krlautan, khususnya pada subsektor perikanan laut. Klungkung nerupakan satu-satunya kabupaten di Bali  yang memiliki wilayah kepulauan. Ini berarti juga memiliki kawasan laut yang relatif panjang dan luas, secara ekonomi bila ditata dan dikelola dengan baik tentunya akan meningkatkan  Pendapatan Asli Daerah (PAD).



Secara Geografis, Kota Semarapura Klungkung dapat dilihat dari peta berikut:


  Gambar 4.1 Peta Kota Semarapura Klungkung
Sumber: Bali Tourism Map 2010
Secara umum Kabupaten Klungkung  dibagi menjadi 4 kecamatan, yaitu:
a.    Kecamatan Klungkung
Kecamatan Klungkung merupakan kecamatan terkecil dari 4 (empat) Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas disebelah Utara Kabupaten Karangasem, sebelah Timur Kecamatan Dawan, sebelah Barat Kecamatan Banjarangkan dan sebelah Selatan dengan Selat Badung, dengan luas 2.095, secara persis semua terletak di daerah daratan pulau Bali. Kecamatan Klungkung memiliki  luah wilayah 7 Km² dengan 40 Km dari ibu kota propinsi Bali dengan jumlah penduduk 55.057 jiwa.
b.    Kecamatan Banjarangkan
Kecamatan Banjarangkan memiliki luas 13 Km² dengan jarak 21 Km² dari ibu kota Propinsi Bali. Kecamatan Banjarangkan merupakan Kecamatan yang terletak paling Barat dari 4 (empat) Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas, sebelah Utara Kabupaten Bangli, sebelah Timur Kecamatan Klungkung, sebelah Barat Kabupaten Gianyar dan sebelah Selatan Selat Badung, dengan luas 45,73 Km ²
Secara administrasi Kecamatan Banjarangkan terdiri dari 13 Desa, 55 dusun, 26 Desa Adat, dengan jumlah penduduk 37.134 jiwa. Dalam usaha untuk memajukan perekonomian di wilayah ini telah didukung dengan beberapa sarana seperti, pasar umum, koperasi, KUD, dan bank, LPD yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memajukan perekonomian desa.
c.    Kecamatan Dawan
Kecamatan Dawan memiliki  luas wilayah 7 Km² dengan jarak 45 Km² dari ibu kota propinsi Bali. Kecamatan Dawan merupakan Kecamatan yang terletak paling Timur dari 4 (empat) Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung dengan batas-batas, sebelah Utara dan Timur Kabupaten Karangasem, sebelah Barat Kecamatan Klungkung dan sebelah Selatan Samudra Hindia dengan luas 37,38 Km ². Menurut penggunaannya luas wilayah Kecamatan Dawan terdiri 16,21 % lahan sawah, 17,26 % lahan tegalan, 35,50 % lahan perkebunan, 6,93 % lahan pekarangan 0,21 % kuburan dan lainnya 23,89 %.
d.   Kecamatan Nusa Penida
Kecamatan Nusa Penida memiliki luas wilayah 22 Km² dengan jarak 74 Km dari ibu kota Propinsi Bali. Kecamatan Nusa Penida terdiri dari tiga kepulauan yaitu pulau Nusa Penida, Pulau Lembongan dan Pulau Ceningan, terdiri dari 16 Desa Dinas, dengan Jumlah Penduduk 45. 178 Jiwa. Pulau Nusa Penida bisa ditempuh dari empat tempat yaitu lewat Benoa dengan menumpang Quiksilver atau Balihai ditempuh +1 jam perjalanan,  melewati Sanur dengan menumpang perahu jarak tempuh + 1,5 Jam perjalanan. Lewat Kusamba dengan menumpang perahu jarak tempuh +1,5 jam perjalanan, sedangkan kalau lewat Padangbai dengan menumpang Kapal Boat yang jarak tempuh + 1 jam perjalanan.
Secara umum kondisi Topografi Nusa Penida tergolong landai sampai berbukit. Desa - desa pesisir di sepanjang pantai bagian utara berupa lahan datar dengan kemiringan 0 - 3 % dari ketinggian lahan 0 - 268 m dpl. Semakin ke selatan kemiringan lerengnya semakin bergelombang. Demikian juga pulau Lembongan bagian Utara merupakan lahan datar dengan kemiringan 0-3% dan dibagian Selatan kemiringannya 3-8 %. Sedangkan Pulau Ceningan mempunyai kemiringan lereng bervariasi antara 8-15% dan 15-30% dengan kondisi tanah bergelombang dan berbukit.
Mata pencaharian penduduk adalah pertanian dan sektor perikanan merupakan mata pencaharian utama oleh 6,68% tersebar pada desa-desa pesisir yaitu Suana, Batununggul, Kutampi Kaler, Ped dan Desa Toyapakeh. Di Pulau Lembongan 16,80% penduduk bergerak dibidang perikanan, dan Ceningan 12,88% mengingat kondisi dan topografi daerah maka yang cocok dikembangkan adalah Sektor Pertanian, dan Sektor Pariwisata.
Kecamatan Nusa penida terdiri dari 16 desa/ kelurahan, 79 dusun/ lingkungan, 14 desa adat dan 165 banjar. Kecamatan Banjarangkan  terdiri dari 13 desa, 55 dusun, 26 desa adat, 70  banjar adat. Kecamatan Klungkung terdiri atas 18 desa kelurahan, 59 dusun, 25 desa adat, 91 banjar. Kecamatan Dawan terdiri atas 12  desa, 48 kelurahan, 48 dusun, 32 desa adat dan 65 banjar.
            Kabupaten Klungkung secara Morfologi dapat  dilihat bahwa kondisi daratannya dari posisi selatan ke utara, daerahnya  semakin naik atau meninggi dan berbukit-bukit, dengan ketinggian 100-500 meter di atas permukaan laut. Sedangkan curah hujannya  rata-rata 1.342 mm/tahun. Musim hujan  berkisar antara Oktober - April dan musim kemarau April - Oktober. Pada musin hujan, di Klungkung berhembus angin barat, sedangkan pada musim panas berhembus angin timur. Arah angin ke barat sekitar Desember –Maret, ke arah tenggara antara April-Nopember. Kecepatan angin maksimum  16 knots/detik. Temperatur udara berkisar antara 24° C- 32° C (TP, 2002:12)
4.2    Bahasa dan Sasatra Bali Dalam Kegiatan Pesantian
4.2.1        Proses Pesantian
Sesuai hasil observasi, Pelaksanaan pesantian Dharma Yajna di Desa Sangkan Buana, kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung dilaksanakan dua kali dalam setiap bulan, yaitu pada hari jumat minggu ke dua dan minggu ke empat. Pelaksanaan pesantian dimulai jam 20.00 s/d 23.00 atau dalam kegiatan yang bersifat khusus yang disepakati oleh kelompok sekaa santi. Tempat pelaksanaan pesantian yaitu di rumah anggota sekaa santi yang dilakukan secara bergiliran. Anggota sekaa santi yang mendapat giliran menjadi tuan rumah biasanya menyediakan sarana upakakara berupa canang sari dan dupa, tuan rumah juga menyediakan suguhan berupa minuman dan snak seadanya.
Setelah anggota sekaa santi berkumpul sesuai waktu dan tempat yang telah disepakati maka pesantian akan segera dimulai. Anggota sekaa santi biasanya duduk melingkar, sehingga mereka bisa saling berinteraksi antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya. Di tengah-tengah lingkaran diletakkan dulang yang diisi sarana upakara berupa canang dan dupa. Dulang tersebut juga digunakan untuk menaruh lontar, buku, atau pustaka suci lainya yang akan dikupas dalam pesantian. Sebelum pesantian dimulai, pertama dilakukan sembahyang bersama sebagai wujud rasa bhakti dan untuk memohon restu dari Ida Sanghyang Widhi Wasa agar diberikan keselamatan. ketua sekaa santi atau pemangku biasanya bertugas menghaturkan canang yang telah disediakan oleh anggota sekaa santi yang menjadi tuan rumah saat itu. Setelah itu kelihan sekaa santi membagikan tirta wangsuhpada dan bija sebagai wujud anugrah Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Gambar 02. Ketua sekaa santi menghaturkan canang untuk memohon keselamatan.

Kemudian kelihan sekaa santi membuka pertemuan itu dengan menghaturkan salam pangenjali umat “Om Swastiastu” yang artinyaOm Hyang Widhi semoga semua dalam keadaan selamat. Dan dilanjutkan dengan panyembrama atau sambutan dari ketua sekaa santi yang intinya mengucapkan rasa terimakasih pada Ida Sanghyang Widhi Wasa atas karunianya. Terimakasih juga disampaikan kepada tuan rumah atas tempat dan suguhan yang telah disediakan, dan kepada seluruh anggota sekaa santi yang sudah meluangkan waktunya untuk mengikuti kegiatan pesantian tersebut. Setelah diarahkan oleh kelihan sekaa santi sebagai acara selanjutnya yaitu pembacaan sloka dan palawakia yang diambil dari naskah suci Sarasamuscaya atau Bhagawad Gita. Pembacaan sloka ini dilakukan oleh dua orang anggota sekaa santi yang dianggap mampu untuk membaca sloka. Ada yang bertugas sebagai pangwacen (pembaca) dan yang lainnya sebagai peneges (penerjemah). Isi sloka dan palawakia ini diterjemahkan ke dalam bahasa Bali sedemikian rupa sehingga sangat menarik untuk dinikmati oleh para pendengarnya. Setelah pembacaan sloka, kemudian ketua sekaa santi membuka dharmatula yaitu semacam diskusi untuk membahas ulang isi dari kutipan sloka yang telah dibacakan.
Setelah selesai pembacaan sloka barulah kemudian pembacaan atau penembangan naskah-naskah sastra Bali yang berupa sekar agung (wirama), sekar alit (geguritan atau pupuh) dan sekar madia (kekidungan). Kegiatan menembangkan puisi-puisi ini juga diterjemahkan oleh seorang peneges. Kegiatan ini biasanya disebut dengan negesin atau mabebasan. Setelah semua anggota sekaa santi mendapat giliran dan masih ada sisa waktu yang mencukupi maka ketua sekaa santi memberikan kesempatan lagi kepada beberapa annggota sekaa santi untuk menembangkan beberapa buah lagu. Biasanya diakhir acara disediakan waktu kurang lebih 15 menit untuk membahas keuangan dan pelaksanaan kegiatan sekaa santi kedepannya. Setelah diskusi selesai, maka ketua sekaa santi menutup kegiatan pesantian dengan parama santi, dan acara selanjutnya adalah acara bebas.                    
Gambar 03. Salah seorang anggota sekaa santi menembangkan sebuah sloka.

4.2.2    Bahasa Pengantar Dalam Kegiatan Pesantian
Berdasarkan dimensi sosial, bahasa Bali mengenal adanya sistem sor singgih basa atau tingkat tutur bahasa Bali yang erat kaitanya dengan sejarah perkembangan masyarakat Bali yang mengenal sistem wangsa (garis keturunan atau klen) menurut stratifikasi masyarakat Bali tradisional dan warna (profesi) dalam stratifikasi masyarakat Bali modern. Dalam tataran wangsa membedakan masyarakat Bali ke dalam klen brahmana, ksatria, wesia (tri wangsa) dan klen jaba (catur wangsa). Sementara itu dari sudut warna (profesi) pemakaian bahasa Bali yang bertingkat-tingkat juga mengalami perubahan, yaitu lebih melihat kedudukan masyarakat dalam fungsi-fungsi sosial di masyarakatnya (Suardiana, 2009:2) Berdasarkan strata sosial ini, bahasa Bali menyajikan sejarah tersendiri tentang tingkat tutur kata dalam pelapisan masyarakat tradisional di Bali. Hal itu bisa kita lihat misalnya ketika kita ingin menyampaikan sebuah kalimat “mai dini negak” yang artinya “mari di sini duduk”, akan berbeda penyampaiannya ketika kita menghadapi stratifikasi sosial itu. Jika berhadapan dengan wangsa yang lebih tinggi maka kalimat tersebut akan berubah menjadi “ngiring iriki malinggih” begitu pula ketika berhadapan dengan orang yang memiliki kedudukan (warna) dalam masyarakat.
Stratifikasi sosial juga berpengaruh ketika pelaksanaan kegiatan pesantian Dharma Yajna di Desa Sangkan Buana Sesuai hasil observasi, bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar ketika kegiatan pesantian dilaksanakan adalah bahasa Bali, yang tidak terlepas dari sor singgih basa Balinya. Hal ini terlihat ketika kegiatan pesantian belum dimulai. Ada sebuah kegiatan bebincang-bincang antara anggota yang satu dengan yang lainnya yang tentunya perbincangannya masih diluar kegiatan pesantian, walaupun ada beberapa yang mulai menginjak perbincangan tentang kegiatan pesantian. Bahasa komunikasi mereka ketika itu jarang yang terlepas dari bahasa Bali, dimana bahasa Bali yang digunakan yaitu bahasa Bali alus madia, yang diselingi dengan bahasa Bali alus singgih, karena anggota sekaa santi yang berasal dari berbagai golongan. Rasa saling menghormati anatara anggota satu dengan yang lainnya masih sangat kental. Kemudian ketika acara telah dibuka dan ketua sekaa santi memberikan panyembama, disana terjadi penggunaan bahasa Bali alus singgih, karena bahasa Bali yang digunakan pada acara formal harus menggunakan bahasa Bali alus singgih. Mengingat anggota sekaa santi berasal dari berbagai golongan, maka ketua sekaa santi maupun anggota sekaa santi akan menyampaikan maksud dan tujuan dengan bahasa Bali alus singgih. (budha Gautama, 2006:25) menyatakan bahwa bahasa Bali alus singgih digunakan pada saat berbicara dengan orang banyak seperti paruman Desa, pakraman kluarga, paruman sekaa, dan yang lainnya. Karena ketika kita berbicara dengan orang banyak, kita akan menghadapi orang yang heterogen, yang berasal dari berbagai golongan. Itulah yang menjadi dasar etika berbicara dengan orang banyak harus menggunakan bahasa bali alus singgih. Selain itu bahasa Bali yang digunakan oleh masyarakat Bali akan lebih halus jika pembicaraannya semakin formal. Suarjana (2008:19) menyatakan bahwa makin formal pembicaraan yang terjadi dalam keluarga itu, makin tinggi pula intensitas pemakaian bahasa Balinya. Itu berarti pembicaraan ke arah yang lebih formal akan memperlihatkan penggunaan bahasa Bali yang intensitasnya lebih tinggi, yaitu bahasa Bali alus.
4.3    Bahasa dan Sastra Bali dalam kegiatan Mabebasan
Kesusastraan Bali menurut jamannya dibedakan menjadi dua bagian yaitu kesusastraan Bali purwa dan kesusastraan Bali anyar. Kesusastraan Bali purwa, menurut bentuknya juga dibedakan menjadi dua yaitu kesusastraan puisi dan kesusastraan Gancaran. Kesusastraan Bali purwa yang berbentuk puisi (tembang) dibedakan lagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu, sekar rare, sekar alit (pupuh), sekar madia (kidung) dan sekar agung (wirama/kekawin). Puisi-puisi ini dibuat oleh para pengawi besar sedemikian rupa sehingga di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur kehidupan yang dapat kita jadikan sebagai pedoman untuk mengarungi hidup ini. Seperti misalnya dalam bait sarasamuscaya (sloka 11.19) berikut ini:
Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimitaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sakeng sangsara, makasadanang subha karma, hinganing kottamaning dadi wwang ika.

Terjemahannya dalam bahasa Bali:
Duaning dados manusa puniki, pinih lewih kawiyaktianipun, mawinan sapunika, mrasidayang ipun manyundangin deweknya saking kaduhkitan, nganggen piranti solahe sane rahayu, maka pamekas kautaman sang dumadi, manusane punika. (Menaka, 2002:21)

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Karena dilahirkan menjadi manusia itu, sungguh sangat utama sekali, karena bisa menolong dirinya dari kesengsaraan, dengan prilaku atau perbuatan yang baik yang disebut dengan subha karma, begitulah keutamaan menjadi seorang manusia.

Dari kutipan tersebut kita dapat mengambil nilai kehidupan yang amat luhur. Dimana kita sangat mulia dilahirkan sebagai manusia, karena dengan lahirnya kita sebagai manusia, kita dapat memperbaiki kualitas kehidupan kita, sebab kita diberikan kelebihan dibanding dengan mahluk lain yaitu tri premana (sabda, bayu dan idep). Dengan idep ini kita bisa berpikir dan mengetahui mana perbuatan baik dan mana perbuatan kurang baik.
Nilai-nilai tersebut tidak akan bisa kita ambil jika kita tidak memahami apa isinya. Salah satu cara untuk bisa memahami isi naskah-naskah suci tersebut adalah dengan kegiatan mabebasan. Kegiatan mabebasan adalah kegiatan penerjemahan puisi bali tradisional (tembang) ke dalam bentuk bahasa Bali yang lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat bali pada umumnya. Nida dan Taber dalam (Widyamartaya, 1989:11) memuat definisi penerjemahan sebagai berikut: translating consists in reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of  the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style. Yang artinya: menerjemahkan merupakan kegiatan menghasilkan kembali di dalam bahasa penerima barang yang secara sedekat-dekatnya dan sewajarnya sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya. Dari definisi tersebut dapat dipetik bahwa penerjemahan adalah proses pemindahan sebuah makna yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan menggunakan bahasa yang menyesuaikan dengan bahasa sasaran. Di dalam kegiatan mabebasan terjadi sebuah pemindahan makna yang terkandung dalam sebuah puisi yang menggunakan bahasa puisi ke dalam bahasa peneges yaitu bahasa Bali.
Gambar 04. Salah seorang anggota Sekaa santi sedang menembangkan sebuah pupuh dan di terjemahkan oleh anggota yang lainnya.
Istilah mabebasan secara morfologis dibentuk dari kata ”basa” yang dalam bahasa Jawa Kuna berarti bahasa (Zoetmulder dalam Sedyawati, 2001:483), kemudian mendapat dwipurwa dan akhiran n sehingga menjadi bebasan yang berarti prihal berbahasa atau cara mengartikan bahasa. Bentuk ini kemudian mendapat awalan ma- sehingga menjadi bentuk mabebasan, sehingga secara leksikal kata ini berarti manyanyikan lagu yang berupa kekawin, pupuh, maupun kidung yang disertai dengan penerjemahan (Warna dalam Sedyawati, 2001:483). Jadi mabebasan adalah kegiatan menerjemahkan sebuah teks sastra yang berupa kekawin, pupuh maupun kidung ke dalam bahasa Bali.
Bahasa yang digunakan dalam teks sastra yang berupa tembang ini biasanya menggunakan bahasa Bali (dalam geguritan), bahasa jawa kuna (dalam kidung atau kekawin), bahasa kawi (dalam kekawin dan Palawakia), dan ada juga yang menggunakan bahasa sanskerta (dalam sloka). Hasil wawancara dengan Arnata (17 April 2011) sebagai berikut:
Bahasa yang digunakan dalam geguritan itu, masih banyak yang harus dikupas, karena bahasanya masih makulit atau terbungkus oleh paribasa Bali. inilah salah satu fungsi mabebasan, dimana tujuannya agar pendengar dapat memahami isi dari naskah-naskah yang sebelumnya masih terbungkus.

Itu berarti walaupun dalam bentuk bahasa Bali namun masih cukup sulit untuk dimengerti oleh masyarakat Bali pada umumnya, karena bahasa Bali yang digunakan masih mengandung bahasa kiasan berupa  paribasa, basa basita, dasa nama, yang mungkin tidak banyak dimengerti oleh masyarakat Bali pada umumnya. Oleh karena itu teks sastra tersebut harus dikupas, tentunya dalam kegiatan mabebasan. Seperti misalnya teks sastra Bali yang diambil dari geguritan Maya denawa, dengan pupuh sinom (Suprapta, 2004:20-21) sebagai berikut:
1.    Niki yajna sane iwang, nangun yajna mapi-mapi, raga sugih mapi tiwas, raris nangun yajna alit, mangda nelasang akedik, sane lacur mapi wibuh, ne alit kemat katurang, raris nangun yajna luwih, yajna puput, ngadol carik garang utang.

Teges:
Inggih kacritayang titiang sane mangkin indik yajna sane nenten kapatutang, yening wenten anak nagun yajna ulian mapi-mapi, yening ipun sugih mapi tiwas ritatkala mayajna, raris ipun makarya yajna sane alit, tatujone mangda nelasang prabeya akidik, sane matungkas malih wenten anak lacur mapi sugih, anake kadi asapunika kemad nangun yajna sane alit, raris ipun nuutin anak sane sugih makarya yajna ageng, rikala yajna punika puput, raris ipun garang utang tur nyantos ipun ngadep warisan.

2.    Driki kucap Bali Dwipa, jagat kadasarin wali, punika maka bisama Rsi Markandia duk riin, daweg Ida nangun wali, ne marupa panca datu, ngawinang jagate kerta, ne katami jantos mangkin, ngudiang ngagu, manungkasin drestan jagat.

Teges:
Iriki kucap jagat Bali punika, saantukan jagat Bali kadasarin antuk wali, asapunika bisama sane pinih mabuat pisan, nika wantah bisama sang rsi markandia duk ida rauh ring Bali, ida ngruntuhang bisama punika daweg nangun wali duk riin, wali sane kawangun punika tan ja wenten tios mendem panca datu, nika sane mangawinang jagat Bali puniki gemuh landuh kerta raharja, punika sane katami olih krama Baline nyantos mangkin, sane mangkin napi sane ngawinang ida dane ngagu, sahasa purun nungkasin drestan jagat Bali saking riin.
Dari terjemahan tersebut dapat kita lihat perubahan dari bahasa kiasan dalam puisi Bali tradisional yang berupa pupuh sinom ke dalam bahasa Bali yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Arnata menambahkan tentang mabebasan dalam wawancaranya (17 April 2011) sebagai berikut:
Agar pendengar tertarik untuk menikmati hasil terjemahan itu, biasanya para peneges dalam mabebasan membumbui isi terjemahannya dengan pengalaman-pengalaman hidup dari peneges itu sendiri yang sesuai dengan isi teks, dan bahkan ada peneges yang mendramakan isi teks tersebut, sehingga terlihat seperti lelampahan wayang yang cukup menarik untuk dinikmati oleh pendengar.
Inilah menariknya didalam pesantian, tek-teks sastra itu diterjemahkan kedalam bentuk bahasa Bali yang khas yang mudah dipahami dan dibuat menarik untuk dinikmati oleh pendengar.
Peneges atau penerjemah yang sudah berpengalaman dalam mabebasan di dalam pesantian sangat lihai dalam menjiwai apa isi teks sastra yang diterjemahkan. Dalam menerjemahkan para penerjemah dengan sikap duduk bersila, kemudian dibantu dengan gerak tangan, tangan kiri memegang siku tangan kanan, kemudian jari-jari tangan kanan dikepal kecuali jempolnya dilepas, kemudian ketika menerjemahkan digerakkan sesuai keinginan sang penerjemah. Menggunakan tangan kanan ini adalah sebuah etika, adalah sikap yang tidak sopan bila menunjukan sesuatu atau menerima sesuatu atau memberikan sesuatu menggunakan tangan kiri kepada orang lain.
Dengan begitu nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks sastra itu akan mudah diambil dan digunakan oleh anggota sekaa santi sebagai pegangan hidup. Disini juga terjadi diskusi-diskusi kecil mengenai isi naskah yang mungkin kurang dipahami oleh beberapa anggota sekaa santi.
4.4    Kontribusi sekaa santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali
Alwi dalam (Sugono dan Zaidan, 2001:38) mengutip Pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia dengan penjelasan: di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, sunda, Bali, dsb.) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara, bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Dari kutipan tersebut terlihat bahwa bahasa Daerah adalah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia maka dikaitkan lagi dengan isi Pasal 32 yang menyebutkan bahwa pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Adapun penjelasan Pasal 32 adalah sebagai berikut: kebudayaan indonesia adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama yang aslinya yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah keemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Itu berarti bahasa daerah adalah bahasa yang harus tetap dijaga dan dilestarikan karena merupakan bagian dari Budaya nasional indonesia. Bahasa Bali sebagai bahasa daerah sampai sekarang ini masih aktif digunakan oleh masyarakat Bali. Dan usaha-usaha untuk menjaga dan memelihara kelestariannya telah dilakukan baik dari kalangan pemerintah maupun golongan pemerhati bahasa Daerah Bali. Bahasa bali yang kita kenal sekarang ini masih banyak kita jumpai pada pertemuan-pertemuan di kalangan masyarakat Bali. Seperti misalnya paum (rapat anggota desa atau Banjar), bahasa yang biasa digunakan adalah bahasa Bali.
Seperti penjelasan di atas, kegiatan sekaa santi juga tidak bisa terlepas dari penggunaan bahasa dan sastra Bali. Karena pada hakekatnya kegiatan pesantian adalah proses pengupasan suatu nilai yang terkandung di dalam sastra-sastra yang terdapat di Bali, baik yang berupa sastra Bali maupun sastra Jawa Kuna, dan dikupas ke dalam bentuk bahasa Bali, sehingga masyarakat yang kurang mengerti dengan bahasa sastra atau bahasa kiasan dalam puisi akan lebih memahaminya ketika ada kegiatan pengupasan sastra-sastra itu dalam pesantian yang sering disebut mabebasan.
4.4.1        Sekaa Santi Sebagai Wadah Bahasa dan Sastra Bali
Sekaa santi adalah tempat yang sangat strategis dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra Bali. Di dalam kegiatan sekaa santi, bahasa Bali akan tumbuh dengan subur.  Ketika kita masuk ke dalam kelompok sekaa santi maka secara otomatis bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali.
Kegiatan sekaa santi tidak hanya dilaksanakan pada tataran intern anggota sekaa santi saja. Pada saat ada upacara yajna di lingkungan Desa Sangkan Buana, sekaa santi  ini selalu berperan serta untuk mengiringi kegiatan tersebut. Tentunya sekaa santi dalam kegiatan tersebut akan sangat bermanfaat untuk perkembangan bahasa dan sastra Bali. Kegiatan sekaa santi (menembangkan kidung-kidung atau kekawin) merupakan pelengkap dalam upacara yajna. Arnata (dalam wawancara 17 April 2011) menyatakan bahwa:
salah satu tujuan pesantian adalah untuk menunjang kegiatan-kegiatan yajna yang dilakukan oleh masyarakat di lingkungan Buana Sari Desa Sangkan Buana-Klungkung. Seperti dalam sastra disebutkan ada lima suara yang harus melengkapi ketika membuat upacara yajna yang disebut dengan panca gita, dan salah satunya adalah Dharma Gita, yaitu nyanyian-nyanyian suci keagamaan yang tiada lain adalah kidung-kidung atau kekawin itu sendiri.

Itu berarti sekaa santi mendapat peran yang sangat penting dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Di samping itu dengan kegiatan sekaa santi secara sengaja atau tidak sengaja sedikit demi sedikit telah mengembangkan bahasa dan sastra Bali di tataran masyarakat umum, khususnya di Desa Sangkan Buana, kecamatan Klungkung, kabupaten Klungkung Dalam hasil wawancara dengan Suastika (18 April 2011) yang menyatakan bahwa:
masyarakat akan menjadi biasa mendengar dan bahkan menggunakan bahasa Bali ketika kegiatan sekaa santi ini sering kita laksanakan pada setiap kegiatan keagamaan. Karena dengan kegiatan pesantian ini tentunya akan menggunakan bahasa Bali baik bahasa pengantar maupun dalam mabebasan.

Yasa menambahkan (dalam wawancara 18 April 2011) sebagai berikut:
Dalam setiap kegiatan keagamaan (panca yajna) yang tentunya sekaa santi sebagai pelengkapnya, tentu kegiatan pesantian akan di konsumsi oleh banyak orang yang menghadiri upacara tersebut. Hal itu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa dan juga sastra Bali ke depan.

Dari hasil wawancara tersebut dapat kita lihat bahwa sekaa santi merupakan wadah yang sangat subur untuk menumbuh kembangkan bahasa dan sastra Bali.
Gambar 05. Kegiatan pesantian dalam upacara Dewa Yajna yang disaksikan oleh seluruh masyarakat yang hadir.

Sesuai hasil observasi, pada setiap kegiatan pesantian dimana dalam hal ini mengiringi upacara-upacara yajna yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Sangkan Buana-Klungkung, biasanya menggunakan pengeras suara, hal itu bertujuan agar mampu didengar oleh banyaknya angota masyarakat yang menghadiri upacara yajna, yang tentunya akan terdengar oleh masyarakat yang berada cukup jauh dari lokasi kegiatan. Sehingga kegiatan sekaa santi ini dapat di nikmati oleh penduduk atau masyarakat yang tidak bisa hadir dalam kegiatan tersebut. Hal itu menunjukan betapa strategisnya kelompok sekaa santi  sebagai tempat atau wadah untuk melestarikan bahasa dan sastra Bali.
4.4.2    Pesantian Sebagai perangsang Minat Masyarakat terhadap Bahasa dan Sastra Bali
Bahasa akan dapat bertumbuh kembang dengan baik ketika bahasa itu dengan aktif terus digunakan oleh masyarakat penggunanya. Begitu juga dengan bahasa Bali. Berkembang atau tidak bahasa Bali dalam masyarakat Bali akan ditentukan oleh masyarakat Bali sendiri, apakah masih digunakan dalam pergaulan sehari-hari atau sudah mulai ditinggalkan dan beralih pada bahasa yang lain. Salah satu cara yang epektif digunakan dalam merangsang masyarakat adalah dengan membuat masyarakat sering menjumpai penggunaan bahasa Bali dan sastra Bali. Ketika masyarakat mengetahui manfaat yang terkandung di  dalamnya maka dengan sendirinya mereka akan menggunakan bahasa dan sastra Bali. Sesuai hasil wawancara dengan Sentana (18 April 2011) yang menyatakan bahwa:
Ketika seseorang secara terus menerus mendengar dan melihat penggunaan sebuah bahasa maka sedikit demi sedikit akan mampu memahami dan menggunakan bahasa tersebut dalam berinteraksi.

Dari hasil wawancara tersebut dapat kita petik bahwa dengan sering mendengar bahasa tertentu, maka sedikit demi sedikit seseorang akan mampu memahami bahasa tersebut. Begitu juga dengan bahasa Bali, dengan sering didengarkan dan digunakan, maka sedikit demi sedikit akan memahami dan semakin terbiasa menggunakan bahasa Bali. Kegiatan tersebut dapat kita lakukan dengan salah satu caranya yaitu melaksanakan kegiatan pesantian. Karena dalam pesantian akan selalu membahas sastra Bali dan tentunya menggunakan Bahasa Bali. Dalam kegiatan pesantian bahasa Bali digunakan baik sebagai bahasa dalam berinteraksi antar anggota sekaa santi, sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pesantian, maupun sebagai bahasa terjemahan dalam kegiatan mabebasan. Dengan mengikuti kegiatan pesantian maka masyarakat akan sering menjumpai penggunaan bahasa dan sastra Bali kemudian dengan sering menjumpainya mereka akan semakin mengenal kosa kata bahasa Bali dan sedikit demi sedikit akan mulai menggunakan bahasa Bali.
4.4.3    Menggali Kosa Kata Bahasa Bali dalam Kegiatan Mabebasan
Kegiatan pesantian yang dilakukan oleh kelompok sekaa santi sangat bermanfaat dalam penggalian kosa kata baru dalam bahasa Bali. Dalam kegiatan mabebasan, seorang peneges biaanya memiliki kosa kata yang sangat banyak. Dan bahkan sering dalam kegiatan mabebasan, mereka menemukan koa kata baru yang semakin memperkaya kosa kata yang telah dimilikinya.esuai hasil wawancara dengan Parmanta (17 april 2011) yang menyatakan bahwa:
Seorang peneges yang sudah berpengalaman biasanya sangat kaya dengan paribasa Bali, dasa nama, dan juga kosa kata bahasa Bali, yang membuat para peneges terlihat sangat menguasai isi sastra yang akan ditejemahkan, dan hal itu dapat dilakukan dengan cara sering membaca dan yang terpenting adalah sering latihan mabebasan.
Itu berarti seorang peneges adalah orang yang sangat kaya dengan kosa kata bahasa Bali. Kosa kata yang dimiliki oleh seorang peneges nantinya tidak hanya dinikmati oleh dirinya sendiri. Dalam proses mabebasan, anggota sekaa santi dan juga masyarakat akan ikut menikmati kekayaan kosa kata yang dimiliki oleh seorang peneges. Apalagi kegiatan pesantian ini disaksikan oleh masyarakat banya. Tentunya kosa kata bahasa Bali akan terus tumbuh dan berkembang. Di dalam kegiatan pesantian, utamanya pada aat dilaksanakan latihan, biasanya seluruh anggota sekaa santi dilatih untuk bia negein atau mabebasan. Hal itu dilakukan dengan tujuan ketika anggota sekaa santi yang biasanya negein tidak bisa menghadiri kegiatan pesantian, maka anggota sekaa santi yang lain harus mampu menggantikannya (hasil wawancara dengan Dewa Arnata, 17 April 2011)
Itu berarti anggota sekaa santi secara otomatis harus memperkaya diri dengan kosa kata bahasa Bali. Dan hal itu bisa dilakukan dengan latihan mabebasan secara tekun. Dengan kegiatan mabebasan ini, kosa kata bahasa Bali akan terus berkemabang di kalangan kelompok sekaa santi Dharma Yajna pada khususnya dan di dalam masyarakat Desa Sangkan Buana dan masyarakat bali pada imimnya.
4.4.4    Sastra Bali dalam Mabebasan
Teks-teks sastra yang ada di Bali, jenisnya sangat beragam dan dalam jumlah yang lumayan banyak. Bisa dikatakan kita kaya dengan sastra-sastra itu. Teks-tes sastra itu dapat kita temukan pada musium-musium yang ada di Bali. Di musium Gedong kirtia misalnya, disana tersimpan banyak sekali teks-teks sastra Bali. Teks-teks sastra itu ada yang tertulis menggunakan aksara Bali dalam lontar, dan ada juga teks sastra yang tertulis menggunakan aksara latin. Keberadaan teks-teks sastra ini sudah seharusnya kita jaga dan pelihara, agar nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sastra tersebut dapat kita jadikan sebagai pedoman untuk hidup dalam pembentukan moral yang berbudi pekerti luhur. Dari beragam jenis teks sastra yang ada dimusium-musium tersebut, adabanyak sastra-sastra tersebut yang berbentuk puisi bali purwa, yaitu jenis kesusastraan Bali yang berbentuk tembang-tembang seperti sekar rare, sekar alit, sekar madia dan sekar agung. Itu berarti sekaa santi dapat ikut menjaga dan memelihara sastra-sastra tersebut dengan mengupas sastra-sastra tersebut dalam pesantian.
Kegiatan mabebasan atau negesin dalam pesantian adalah kegiatan penerjemahan teks-teks sastra baik yang menggunakan bahasa Bali, bahasa Kawi, bahasa Jawa Kuna dan bahakan bahasa Sansekrta, yang dikupas ke dalam bentuk bahasa Bali. Disamping untuk mencari dan mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam sastra tersebut, kelompok sekaa santi ini secara tidak disadari telah ikut menjaga dan memelihara sastra-sastra Bali tersebut.dengan adanya kegiatan pesantian ini, teks-teks sastra yang ada di pulau Bali ini akn terus terpelihara dengan baik, dan tentunya akan dapat di ambil nilai-nilai yang terkandung didalamnya dalam kegiatan mabebasan. Hal itu akan merembet pada pembentukan moral yang berbudi luhur pada masyarakat Desa Sangkan Buana pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya.
Sastra-sastra Bali yang ada di Bali yang berbentuk puisi jenisnya sangat beragam. Sekar alit, yang biasanya disebut pupuh, biasaya digunakan untuk menuangkan sebuah cerita. Cerita atau satua yang dituangkan dalam pupuh-pupuh ini biasanya disebut dengan geguritan,. Secara umum pupuh-pupuh ini berjumlah 10 buah. Masing-masing pupuh memiliki aturan sendiri yang disebut dengan pada lingsa. Padalingsa adalah banyaknya suku kata dan vokal terakhir dari setiap baris  dan banyaknya baris pada setiap bait, Gautama (2007:33). Berikut pada lingsa dari masing-masing pupuh tersebut:
Tabel 04. Daftar pupuh dan pada lingsa pupuh
No.
Nama pupuh
Pada lingsa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Pupuh Sinom
Pupuh Semarandana
Pupuh Ginada
Pupuh Ginanti
Pupuh Mijil
Pupuh Maskumambang
Pupuh Dangdang
Pupuh Durma
Pupuh Pucung
Pupuh pangkur
8a, 8i, 8a, 8i, 8i, 8u, 8a, 8i, 4u, 8a.
8i, 8a, 8e/o, 8a, 8u, 8a.
8a, 8i, 8a/o, 8u, 8a, 4i, 8a.
8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i.
4u, 6i, 6o, 4e, 6e, 4u, 6i, 6i, 8/6o.
4a, 8i, 6a, 8i, 8a.
10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a.
12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5i, 7i.
4u, 8u, 6a, 7a, 5i, 7i.
8a, 4a, 8i, 8u, 4a, 8u, 8a, 8i.

Sekar madia,  yang sering disebut dengan istilah kidung atau  kekidungan adalah jenis puisi Bali purwa yang juga terikat oleh uger-uger pada lingsa. Perbedaannya dengan sekar alit adalah penggunaan bahasanya yang menggunakan bahasa Jawa tengahan atau bahasa Bali tengahan, (Gautama, 2007:47). Biasanya kekidungan ini yang sering digunakan untuk mengiringi upacara panca yajna di samping kekawin dan pupuh. Kekidungan ini biasanya jarang diterjemahkan. Berikut adalah contoh sekar madia atau kidung  yang digunakan dalam mengiringi upacara Dewa yajna:
Pupuh Bramara angisep Sari (Surada, 2006:1-2)
1.    Mogi tan kacakra bawa, Titiang ikatunan sami, Nista kaya wak lan manah, Langgeng ngulati Hyang Widhi, Sang sukma maha acintya, Nirbana siwa kasengguh, Singidan ring tampak aksi.
2.    Ong Ong sembah ninganata, dumadak jua kaaksi, munggwing pangubaktin titiang, sareng sami ring Hyang widhi, Mogi asung wara nugraha, karahajengan manerus, gemuh landuh kang negari
Sekar Agung, atau sering disebut wirama atau kekawin adalah juga merupakan puisi Bali Purwa. Bahasa yang digunakan dalam kekawin adalah bahasa Kawi. Kekawin kata dasarnya adalah ”kawi” yang artinya karangan, mendapat reduplikasi (dwipurwa) dan akhiran n, sehingga menjadi kekawin yang artinya aneka ragam hasil karangan (Gautama 2007:55). Uger-uger atau aturan yang mengikat kekawin  yaitu, (1) wreta matra, banyaknya suku kata dan letak guru lagu dalam setiap baris. (2) guru lagu, dimana guru berarti suku kata yang mendapat nada panjang atau berat, lagu berarti suku kata yang mendapat suara atau nada pendek atau ringan. guru biasanya dilambangkan dengan tanda (─) dan lagu dilambangkan dengan tanda (U). Kekawin ini sangat banyak terdapat di Pulau Bali ini. Jenis kekawin yang sering digunakan oleh sekaa santi Dharma Yajna yaitu, kekawin Arjunawiwaha, kekawin Sutasoma, kekawin Ramayana, kekawin Aji Palayon, kakawin Bhomantaka.  Berikut contoh kekawin yang diambil dari keawin Ramayana  (Tim Penyusun, 1997:12)
1.      kawit sarat semaya kala nirar para ngka, nton tang pradesa ri hawan nira kapwa ramya, kweh lwah magöng katemu de nira tirta dibya, udyana len talaga nirjhara kapwa mahning.
2.      tunjung putih pwa ya ta tunjung abang sedeng rum, kumbang nya ghurnita masabda humung sadarppa, len mandamaruta mirir yya suganda mambö, sang Rama Laksamana rikang ksana tusta de nya.

Terjemahan dalam Bahasa Bali (Tim Penyusun, 1986: 13):
1.      nemonin sasih katiga ring kapatdewasane ida lunga marika, Cingak iada punika pajajahane salantang pamargin idane ngulangunin,katah tukad ageng-ageng panggihin ida taler genah matirtayatra sane utama, taman makamiwah talaga ceburan toya makasami dahat ening.
2.      tunjung putih miwah tunjung barak sami mengpeng miyik, tambulilingannyane pagriweng mabyayuhan maswara binal, tios malih angine banban ngasirsir ipun maambu dahat miik, ida Sang Rama miwah Sang Laksmana ledang antuk duk punikia.

Terjemahan dalam bahasa indonesia (Tim penyusun, 1997:13):

1.      Kebetulan musim gugur beliau berangkat kesana, tampak desa-desa sepanjang jalan yang dilaluinya semua indah, banyak sungai besar-besar dijumpai oleh beliau, pun pula permandian yang mulia, taman-taman dan telaga, air terjun yang semuanya jernih.
2.      Teratai  putih, teratai merah sedang berbau harum. Kumbangnya riuh bersuara mendengung bernafsu. Dan angin sepoi meniupnya menghamburkan bau harum semerbak. Sang Rama, Laksamana waktu itu senang dibuatnya.

Dalam kelompok sekaa santi semua jenis sastra puisi diatas dipelihara dengan baik dengan cara menembangkangkan, mabebasan atau negesin (menerjemahkan) dan kemudian mendiskusikannya (dharmatula). Sehingga sastra-sastra itu akan dapat terpelihara dengan baik di dalam sekaa santi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1.      Bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan pesantian di Desa Sangkan Buana-Klungkung memiliki peranan yang sangat penting. Pada setiap kegiatan pesantian anggota sekaa santi selalu menggunakan bahasa Bali yang sesuai dengan sor singgih bahasa Bali. Apalagi bahasa Bali yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam melaksanakan kegiatan pesantian, yaitu bahasa Bali alus singgih, karena melihat anngota sekaa santi yang heterogen, artinya anggota sekaa santi berasal dari berbagai golongan. Di samping itu sastra Bali selalu menjadi sumber utama sebagai acuan yang digunakan di dalam melaksanakan pesantian. Dimana sastra Bali yang dimaksud adalah sastra Bali purwa yang berbentuk puisi yaitu, sekar alit, sekar madia da sekar agung.
2.      Bahasa dan sastra Bali dalam kegiatan mabebasan di Desa Sangkan Buana-Klungkung adalah suatu yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam kegiatan mabebasan terjadi proses penerjemahan dari karya sastra Bali purwa, baik berupa pupuh, kidung, kekawin, sloka maupun palawakia ke dalam bentuk bahasa Bali, tentunya bahasa Bali yang lebih dapat dipahami oleh masyarakat Bali pada umumnya. Sehingga dengan pelaksanaan penerjemahan atau mabebasan itu, masyarakat akan lebih mudah untuk mengkonsumsi nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah karya sastra Bali.
3.      Kontribusi sekaa santi dalam upaya pelestarian bahasa dan sastra bali di Desa Sangkan Buana-Klungkung yaitu, (1) sekaa santi merupakan wadah yang sangat strategis untuk pemeliharaan bahasa dan sastra Bali. Karena dalam kegiatan pesantian, bahasa Bali selalu menjadi alat yang digunakan untuk berkomunikasi baik berinteraksi antar anggota sekaa santi, sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan pesantian, maupun sebagai bahasa dalam menerjemahkan isi sebuah karya sastra dalam mabebasan. Kemudian sastra Bali adalah sumber acuan yang digunakan oleh sekaa santi. Dan sastra-sastra inilah yang dibahas dalam kegiatan pesantian. (2) pesantian sebagai alat untuk merangsang masyarakat untuk menggunakan bahasa dan satra Bali. Jika kegiatan pesantian ini sering dilaksanakan, apalagi disaksikan oleh masyarakat, maka masyarakat akan terbiasa mendengar bahasa dan sastra Bali dan kemudian sedikit demi sedikit akan berminat untuk memahami dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. (3) menggali kosa kata bahasa Bali dalam mabebasan. Banyak kosa kata bahasa Bali yang akan kita temukan dalam kegiatan mabebasan. Karena di dalam mabebasan seorang peneges akan selalu menggali kosa kata bahasa Bali agar dapat lebih sempurna didalam memberikan terjemahan (mabebasan) terhadap sebuah puisi. Sehingga seorang peneges adalah orang yang sangat kaya dengan kosa kata bahasa Bali. (4) sastra bali dalam kegiatan mabebasan adalah sumber acuan utama yang digunakan oleh kelompok sekaa santi. Sastra-sastra itu akan terpelihara dengan baik di dalam kelompok sekaa santi ini.
5.2. Saran
Bahasa dan sastra Bali sebagai salah satu budaya Bali adalah merupakan kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Namun budaya Bali, khususnya bahasa dan Sastra Bali kini sudah mulai terkikis oleh pengaruh globalisasi. Keberlangsungan perkembangan Budaya Bali sangat memerlukan perhatian dari berbagai pihak di antaranya:
1. Diharapkan kepada Pengambil kebijakan agar memperhatikan keberadaan sekaa santi yang ada di Kabupaten Klungkung pada khususnya, karena keberadaan sekaa santi ini sangat mendukung perkembangan bahasa dan sastra Bali.
2. Kepada masyarakat Desa Sangkan Buana, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung agar tetap menjaga dan melestarikan sekaa santi, karena sangat bermanfaat untuk kehidupan beragama Hindu masyarakat Bali, khususnya masyarakat Desa Sangkan Buana Disamping itu juga dengan mejaga dan melestarikan sekaa santi, maka telah ikut membantu pemerintah untuk mejaga dan melestarikan budaya bangsa.
3. Kepada generasi muda Bali diharapkan untuk tidak meninggalkan budaya Bali khususnya bahasa dan sastra Bali. Karena generasi muda merupakan ujung tombak yang seharusnya menjaga keberlangsungan budaya Bali.
4. Kepada para pemerhati bahasa dan sastra Bali, diharapkan untuk melaksanakan penelitian dengan skup yang lebih luas guna perkembangan bahasa dan sastra Bali ke depannya.